Mahasiswa semester akhir biasanya sudah
terjangkiti sindrom yang satu ini. Pengen
nikah. Ya mungkin memang sudah masanya bagi si mahasiswa senior untuk lebih
serius memikirkan masa depan rumah tangga yang akan dibina.
Semakin
tahun, moral remaja Indonesia semakin saja mengundang decakan “ada-ada saja”.
Mulai dari kasus video porno, perkosaan, tawuran, perampokan, sodomi, judi,
balapan liar, bullying, hingga
pembunuhan; beberapa pelakunya adalah remaja. Jadi ya jangan salahkan bunda
mengandung, jika pemuda-pemuda hasil generasi zaman yang seperti itu nantinya
hanya akan menjadi beban masyarakat atau pengacara,
pengangguran banyak acara. Mau menyalahkan pendidikan? Salah bapak ibu guru?
Mau bilang salah pergaulan? Salah gue?
Salah bapak ibu gue? Kakek nenek gue? Salahnya tuh di mana?
Semua
pasti sependapat, kalau pendidikan yang baik akan melahirkan anak didik yang
baik pula. Tapi masalahnya, pendidikan yang baik itu seperti apa sih? Gedung
bagus, sarana lengkap, pendidik berkualitas, kurikulum bermutu, dan banyak
kegiatan ekstrakurikuler yang positif. Itu kan yang dibayangkan dari pendidikan
yang berkualitas? Salah besar. Manusia itu terlahir sebagai makhluk, bukan
sebagai robot. Apalah artinya pendidikan yang seperti di sekolah-sekolah itu
tanpa adanya kesehatan moral dan keseimbangan agama? Kebutuhan pokok manusia
itu bukanlah pangan, sandang, lan papan; akan tetapi interaksi. Tanpa tahu cara
berinteraksi yang baik, manusia tiada bedanya dengan hewan. Bagaimana
berinteraksi yang baik? Interaksi yang baik berarti aspek-aspek interaksi itu
juga harus baik? Artinya pikiran, perkataan, dan perbuatan sebagai akses untuk
berinteraksi juga harus baik. Caranya? Ya setiap manusia harus belajar.
Keluarga
adalah kelompok terkecil dalam masyarakat, Agustinus (Titik Nol, 2013)
mengatakan keluarga adalah sebagai titik nol. Manusia lahir dari sebuah
keluarga, lalu akan kembali pula ke keluarga dimana ia berasal. Artinya di
sini, keluarga memegang peranan yang penting dalam proses pembelajaran manusia.
Dari keluarga, bayi mulai bisa belajar berjalan. Dari keluarga, manusia bisa
mengerti bahwa yang ada di atas piring adalah makanan. Dari keluarga, manusia
belajar tentang siapa dirinya, laki-laki atau perempuan? Siapa itu anak dan
siapa itu orang tua. Pertanyaannya, masihkah keluarga menjadi garda pendidikan
terdepan? Masih pula kah menjadi terdepan untuk generasi Indonesia saat ini? Jawabannya
silahkan ditulis dalam hati masing-masing.
Kebanyakan orang
tua terkesan lepas tangan, “yang penting bisa cari uang untuk sekolah
anak-anak, supaya mereka bisa sekolah setinggi-tingginya.” Itulah yang salah.
Bicara
tentang keluarga dan topik di awal tentang mahasiswa senior, maka kita-kita
jugalah yang beberapa tahun ke depan bakal jadi calon orang tua bagi bayi-bayi
mungil tak berdosa. Maka mulai dari sekarang pikirkanlah akan jadi orang tua
yang seperti apa kita. Akan memilih calon ibu atau bapak yang bagaimana untuk
anak-anak kelak agar mereka menjadi insani yang bermanfaat. Akan kita didik
jadikan seperti apa anak-anak kita kelak? Lalu apa bekal yang harus disiapkan
mulai dari sekarang? Tak hanya materi saja tentunya, namun juga bukan tentang
teori saja. Mahasiswa senior harap bersabar, walaupun nikah muda itu
diperbolehkan, tapi pertanyaannya apakah siap menjadi orang tua yang
berkualitas? Bekal mana yang diandalkan untuk mendidik anak kelak? Jika antum
sudah punya calon, permasalahan tidak terhenti pada titik persiapan untuk ijab qabul pernikahan saja, namun yang
terpenting adalah apa yang harus dilakukan setelah menikah. Pendidikan yang
baik bukan hanya diberikan sejak anak itu terlahir, melainkan meliputi proses
bagaimana kita membekali diri dan memilih calon pasangan hidup.