Cerkak Indonesia
Kamis, 16 April 2015
Perjalanan Pelarian
Perjalanan adalah tentang belajar, bukan bagaimana tentang seberapa banyak having fun.
Perjalanan adalah sebuah pelarian dari kebuntuan yang tak kunjung kau temui.
Hijrah, hijrahlah!
Akan kau temukan hal yang tak kau jumpai.
Perjalanan adalah sebuah cara memaknai tentang bagaimana hakikat manusia itu diciptakan.
Memaknai bagaimana berharganya waktu yang selalu tak bisa diputar kembali, sementara manusia
hanya memilikinya secara terbatas.
Perjalanan adalah tentang menemukan.
Menemukan teman seperjalanan
Menemukan frekuensi dan kejenuhan yang sama di antara kita, lalu menertawakannya bersama
Perjalanan adalah sebuah proses kedewasaan,
sebab tak ada manusia menjadi dewasa tanpa ia berjalan ke tempat yang berbeda
Perjalanan bukan tentang kemana, dan dengan apa. Tetapi dengan siapa dan apa yang dibawa pulang kembali.
Perjalanan bukan tentang seberapa jauh, tapi seberapa dalam memaknai arti perjalanan itu sendiri.
Hijrah!
The biggest magnitude and the atmosphere
Mereka adalah orang yang paling sabar, namun satu di antaranya ku tahu lebih bersabar karena aku lebih sering bersamanya.
Aku dan mereka adalah sebuah keajaiban, bertemu dengan sebuah mukjizat.
Mereka adalah sumber perubahan, inspirasi dan seorang guru yang rela membimbing.
Mereka adalah orang yang ikhlas menerimaku, melihatku secara utuh.
Mereka adalah orang-orang pemberani yang membuatku jatuh hati, jatuh hati terhadap keputusannya berjalan di rel yang mereka suka.
Mereka adalah orang-orang romantis dengan cara mereka, bukan lewat kata.
Mereka adalah orang-orang yang tak terlalu terobsesi visi misi, bukan karena tak peduli, namun mereka menikmati hidup. Karena hidup adalah sebuah anugerah.
Aku sungguh jatuh hati dengan cara mereka memandang dunia, you are the biggest magnitude and the atmosphere.
Magnitude karena ia sebuah inspirasi luar biasa bak magnet,
Atmosphere karena ia selalu hadir dan melengkapi ruang-ruang yang ada.
Terima kasih
Aku dan mereka adalah sebuah keajaiban, bertemu dengan sebuah mukjizat.
Mereka adalah sumber perubahan, inspirasi dan seorang guru yang rela membimbing.
Mereka adalah orang yang ikhlas menerimaku, melihatku secara utuh.
Mereka adalah orang-orang pemberani yang membuatku jatuh hati, jatuh hati terhadap keputusannya berjalan di rel yang mereka suka.
Mereka adalah orang-orang romantis dengan cara mereka, bukan lewat kata.
Mereka adalah orang-orang yang tak terlalu terobsesi visi misi, bukan karena tak peduli, namun mereka menikmati hidup. Karena hidup adalah sebuah anugerah.
Aku sungguh jatuh hati dengan cara mereka memandang dunia, you are the biggest magnitude and the atmosphere.
Magnitude karena ia sebuah inspirasi luar biasa bak magnet,
Atmosphere karena ia selalu hadir dan melengkapi ruang-ruang yang ada.
Terima kasih
Jumat, 06 Februari 2015
Indonesiaku
Belahan Timur Indonesia memang sungguh mempesona. Di setiap tempat ku lihat keluguan, setiap
sudut kulihat keasrian, walau dengan segala keterbatasan di sini namun semua malah menjadi
pelengkap keindahan negeri cenderawasih ini. Belum pernah kulihat sederet pantai putih bersih,
laut mengkilat bergoyang-goyang seraya memanggil ikan-ikan untuk ikut menari-nari di lautan.
Terlalu banyak kutemui hal-hal yang tidak kudapatkan di Jawa, tanah kelahiranku. Bermain perahu,
membakar ikan, dan berpwtualang di pantai. Sungguh ini bukan sekedar pengalaman, namun ini adalah
sebagian dari kisah hidupku yang akan aku ceritakan pada anak-anakku kelak. Sungguh, Maha Esa
Allah yang telah memberiku kesempatan untuk melakukan long journey kali ini. Semoga impianku
terhadap Bangsa Indonesia ini, entah sekarang, atau kelak. Pasti akan!
Surat Rinduku Untuk Kalian
Enam bulan sudah kita tidak tinggal dalam satu atap bersama lagi. Sudah tak ada giliran memasak, bersih-bersih pondokan, atau aktivitas yang kita lakukan di Supiori. Sudah tak ku dengar lagi canda tawa kalian, sudah lama tak ku tatap wajah kalian yang bersinar. Hari ini kuputarkan video berisi kenangan di Supiori, sudah tak ada haru tangis membasahi pipi walau rindu masih membayangi dalam selinap hatiku. Suasana di sana tak bisa terulang, tak bisa tergantikan. Walau kini kita tetap berada dalam satu kota bahkan satu payung almamater yang sama, namun kesibukan telah membawa kita pada jalan masing-masing. Whats Apps, BBM, Facebook, SMS, atau telepon pun gagal mengkoneksikan kabar kita satu sama lain. Kita kembali kepada dunia masing-masing. Pada titik ini pun aku telah berhasil meneruskan langkahku di Yogyakarta, meninggalkan rasa kehilangan atas erakhirnya kisah KKN. Susah move on. Butuh waktu enam bulan hingga aku bisa mengembalikan ritmeku. Norak memang. Kisah di Supiori kalau boleh dibilang, aku tak mau menjadikannya kenangan. Aku ingin berjalan di dalamnya terus menerus. Akan tetapi memang tak bisa menghentikan detik yang terus bertambah, tak bisa berjalan di tempat yang sama tanpa ada tujuan lain. Hanya satu obatnya, ikhlas untuk melupakan kisah ini agar tak selalu terbayang dan menimbulkan rindu yang nestapa. Seperti berusaha menenggelamkan botol kosong yang tertutup, terkadang pasti menyembul. Itulah caraku untuk menghilangkan rindu.
Walaupun tak semua dari kalian dekat denganku, tapi perhatianku pernah tercurahkan rata besarnya untuk kalian semua. Keluargaku, Supiori Tarada Dua.
Yogyakarta, tempatku kini berpijak untuk meneruskan perjuanganku untuk Indonesiaku.
Walaupun tak semua dari kalian dekat denganku, tapi perhatianku pernah tercurahkan rata besarnya untuk kalian semua. Keluargaku, Supiori Tarada Dua.
Yogyakarta, tempatku kini berpijak untuk meneruskan perjuanganku untuk Indonesiaku.
Selasa, 30 Desember 2014
Tanpa Judul
tanpa judul
Srikandi?
Tak usah kau panggil aku itu.
Shinta?
Aku bukan wanita yang terlalu lemah kau tahu.
Fatmawati?
Hadirku belum terlalu berarti untuk bangsa ini.
Ibu?
Ya itu saja cukup, tapi bukan untuk sekarang.
“lalu?” kau tanya padaku.
Panggil saja aku seperti kawanmu,
perlakukan aku seperti kau menghormati ibumu,
mengertilah aku, seperti kau dengan sahabatmu.
Perjuangkan aku sekuat hatimu,
Pertahankan aku sekuat tenagamu.
Tak perlu kau berikan semua waktumu,
tak perlu kau ceritakan semua tentangmu padaku,
biarkan waktu yang memperkenalkanmu padaku,
semua yang kau tawarkan itu, perlu kau tahu aku bisa cari
sendiri.
Kau mau menjagaku? Aku tak butuh satpam.
Yang aku butuh adalah seorang teman,
teman untuk maju bersama,
mengisi hidupku lebih bermanfaat,
teman mengusir rasa bosanku dari kesendirian,
sahabat yang saling mengerti,
dan sebuah rumah untukku kembali saat aku merasa lelah.
Maka jadikanlah dirimu sebagai rumahku.
Minggu, 14 Desember 2014
Nikah Yuk! Siapa sih yang nggak mau?
Mahasiswa semester akhir biasanya sudah
terjangkiti sindrom yang satu ini. Pengen
nikah. Ya mungkin memang sudah masanya bagi si mahasiswa senior untuk lebih
serius memikirkan masa depan rumah tangga yang akan dibina.
Semakin
tahun, moral remaja Indonesia semakin saja mengundang decakan “ada-ada saja”.
Mulai dari kasus video porno, perkosaan, tawuran, perampokan, sodomi, judi,
balapan liar, bullying, hingga
pembunuhan; beberapa pelakunya adalah remaja. Jadi ya jangan salahkan bunda
mengandung, jika pemuda-pemuda hasil generasi zaman yang seperti itu nantinya
hanya akan menjadi beban masyarakat atau pengacara,
pengangguran banyak acara. Mau menyalahkan pendidikan? Salah bapak ibu guru?
Mau bilang salah pergaulan? Salah gue?
Salah bapak ibu gue? Kakek nenek gue? Salahnya tuh di mana?
Semua
pasti sependapat, kalau pendidikan yang baik akan melahirkan anak didik yang
baik pula. Tapi masalahnya, pendidikan yang baik itu seperti apa sih? Gedung
bagus, sarana lengkap, pendidik berkualitas, kurikulum bermutu, dan banyak
kegiatan ekstrakurikuler yang positif. Itu kan yang dibayangkan dari pendidikan
yang berkualitas? Salah besar. Manusia itu terlahir sebagai makhluk, bukan
sebagai robot. Apalah artinya pendidikan yang seperti di sekolah-sekolah itu
tanpa adanya kesehatan moral dan keseimbangan agama? Kebutuhan pokok manusia
itu bukanlah pangan, sandang, lan papan; akan tetapi interaksi. Tanpa tahu cara
berinteraksi yang baik, manusia tiada bedanya dengan hewan. Bagaimana
berinteraksi yang baik? Interaksi yang baik berarti aspek-aspek interaksi itu
juga harus baik? Artinya pikiran, perkataan, dan perbuatan sebagai akses untuk
berinteraksi juga harus baik. Caranya? Ya setiap manusia harus belajar.
Keluarga
adalah kelompok terkecil dalam masyarakat, Agustinus (Titik Nol, 2013)
mengatakan keluarga adalah sebagai titik nol. Manusia lahir dari sebuah
keluarga, lalu akan kembali pula ke keluarga dimana ia berasal. Artinya di
sini, keluarga memegang peranan yang penting dalam proses pembelajaran manusia.
Dari keluarga, bayi mulai bisa belajar berjalan. Dari keluarga, manusia bisa
mengerti bahwa yang ada di atas piring adalah makanan. Dari keluarga, manusia
belajar tentang siapa dirinya, laki-laki atau perempuan? Siapa itu anak dan
siapa itu orang tua. Pertanyaannya, masihkah keluarga menjadi garda pendidikan
terdepan? Masih pula kah menjadi terdepan untuk generasi Indonesia saat ini? Jawabannya
silahkan ditulis dalam hati masing-masing.
Kebanyakan orang
tua terkesan lepas tangan, “yang penting bisa cari uang untuk sekolah
anak-anak, supaya mereka bisa sekolah setinggi-tingginya.” Itulah yang salah.
Bicara
tentang keluarga dan topik di awal tentang mahasiswa senior, maka kita-kita
jugalah yang beberapa tahun ke depan bakal jadi calon orang tua bagi bayi-bayi
mungil tak berdosa. Maka mulai dari sekarang pikirkanlah akan jadi orang tua
yang seperti apa kita. Akan memilih calon ibu atau bapak yang bagaimana untuk
anak-anak kelak agar mereka menjadi insani yang bermanfaat. Akan kita didik
jadikan seperti apa anak-anak kita kelak? Lalu apa bekal yang harus disiapkan
mulai dari sekarang? Tak hanya materi saja tentunya, namun juga bukan tentang
teori saja. Mahasiswa senior harap bersabar, walaupun nikah muda itu
diperbolehkan, tapi pertanyaannya apakah siap menjadi orang tua yang
berkualitas? Bekal mana yang diandalkan untuk mendidik anak kelak? Jika antum
sudah punya calon, permasalahan tidak terhenti pada titik persiapan untuk ijab qabul pernikahan saja, namun yang
terpenting adalah apa yang harus dilakukan setelah menikah. Pendidikan yang
baik bukan hanya diberikan sejak anak itu terlahir, melainkan meliputi proses
bagaimana kita membekali diri dan memilih calon pasangan hidup.
Sabtu, 22 November 2014
Revolusi Iman
Revolusi Iman
Perkataan
adalah doa. Memang benar adanya. Entah kapan olok-olokan itu berkembang dan
menjadi nama yang lekat menempel pada segerombolan kawan sepermainanku, bernama
“Ibu-Ibu Pengajian”. Aku tak tahu kenapa nama itulah yang kalian berikan padaku
dan teman-teman.
“Iuuuh...,
apa-apaan sih?” Batinku kesal setiap kali mendengar kalian memanggil kami
Ibu-Ibu Pengajian.
“Menurut
kalian, kami sealim itukah? Kalian salah tau...!” Berontakku pada kalian.
Kami adalah
segerombolan mahasiswi yang berkuliah di prodi dengan beban praktikum tiada
berujung. Tak pantas kami sebut kami gank, lebih indah jika kau memanggil kami
kelompok sepermainan. Kami adalah pelangi, bagian dari kami berwarna-warni. Ada
yang ratu akademis, ratu administratif, anak selow, aktivis, idola kakak angkatan, hingga yang biasa-biasa saja
pun ada. Memang, dari luar kami terlihat kalem, alim, rajin, dan image positif lain yang ada di dunia ini
menempel pada kami. Mungkin itu yang bikin salah satu kompor di kampus nge-justice kami
dengan cap Ibu-Ibu Pengajian, padahal saat itu penampilan kami biasa-biasa aja,
ndak ada yang alim banget. Semua
memang biasa-biasa aja.
Dari julukan
itu, setiap kali ada yang memanggilku dengan panggilan Ibu-Ibu Pengajian pun
aku memilih diam. Hanya bilang, amin saja.
Nggak ada pikiran untuk benar-benar jadi Ibu-Ibu Pengajian dengan segala cap
seperti ukhti-ukhti yang bagiku saat
itu nggak banget.
Hari-hari
berlalu hingga tak terhitung lagi sudah berapa tahun kalian memanggilku bagian
dari kelompok Ibu-Ibu Pengajian. Memang pernah ada pikiran untuk menjadi sosok
seperti Anna Althafunnissa seperti di novel dan film “Ketika Cinta Bertasbih”,
lalu berharap bisa menemukan sosok Mas Azam yang ideal sebagai belahan jiwa
dunia dan akhirat. Namun angan itu tinggalah debu yang terhempas oleh angin.
Kalau
dipikir-pikir aku memang selalu didekatkan dengan golongan orang-orang yang
baik dan nggak neka-neka, bahkan
beberapa alim menurutku. Namun bukan berarti aku seseorang yang kalem, alim,
dan polos ya. Pergaulanku tak hanya terbatas pada orang-orang dengan tipikal
seperti itu, bahkan kadang aku bosan bersama mereka, lalu menganggap dunia
mereka bukanlah duniaku. Berkerudung pun baru aku lakukan setelah aku memasuki
dunia kuliahku. Dari dulu, aku lebih suka bergaul bersama orang-orang yang bisa
dibilang di luar garis batas dari kata alim, orang-orang pelarian dari monoisme
sikap terhadap segala peraturan, alias berandal.
Anehnya, sedekat-dekatnya aku bersama kelompok berandal ini pasti aku seperti dibawa alur yang mengantarkanku
kembali bergaul dengan anak-anak alim, kalem, cerdas, prestatif, dan aktif itu.
Aku ketika bersama para berandal selalu
menjadi obyek penyelamatan. Kepala sekolahku sampai bilang, “Stella, jangan
suka main sama mereka. Eman-eman kamunya!”
Loh? Saya baik-baik aja lo Bu. Mereka juga baik-baik kok sama saya. I’m Ok! Dan pola itu terjadi dari SMP
hingga sekarang aku kuliah. “Aku butuh keluar dari zona ini, aku pingin jadi bad girl aja. Biar hidup lebih seru,
nggak terkesan pasif.” Batinku dalam hati.
AAI? Sebuah
program pendampingan belajar pendalaman agama Islam di seluruh kampus pada saat
itu, sebelum akhirnya dibubarkan karena dianggap sebagai ajang perekrutan
partai politik di kampus. Bagiku AAI dulu adalah sesuatu yang bisa aku katakan nggak banget sih, masya Allah ya aku itu
dulu. Berangkat AAI adalah suatu cobaan yang berat bagiku. Entah setan apa yang
menempel di diriku, tapi itulah kenyataannya. Dari 100 persen pertemuan, bisa
dikatakan aku hanya datang sekitar setengahnya, setengahnya lagi aku malas
datang. Entah karena milih mending ngerjain laporan praktikum atau memilih
kumpul sama temen buat main bareng. Masya Allah ya. Tapi entah kenapa aku malah
memilih untuk meneruskan program AAI-ku ke season 2, padahal berangkat AAI
season 1 aja jarang kok ini malah mau lanjut. Entahlah kadang logikaku dengan
kecepatanku mengambil keputusan memang kalah CC mesin. Aku memang orang yang
sangat spontan.
Tepat setahun
lalu lebih beberapa bulan, aku bersama teman-temanku membangun mimpi untuk
mengabdi di Tanah Cenderawasih. Perjuangan cari dosen, ke LPPM, lembur
proposal, sibuk rekruitmen, dan berpusing-pusing cari dana saat itu adalah
agenda rutinku selama 9 bulan. Hingga aku pun mengorbankan beberapa
matakuliahku demi menunaikan tangung jawab sebagai tim pengusul KKN di Arborek,
Waigeo Meos Mansaar. Tapi, ternyata perjuangan panjangku untuk Arborek harus
berhenti di tanggal 20 Maret 2014. Usulanku tetap dinyatakan tidak lolos
setelah aku dan teman-temanku lembur mengejar deadline revisi proposal. Minggu
itu menjadi kala kelam dalam sejarah hidupku. Apalagi aku adalah otak
rekruitmen teman-teman seperjuanganku, kupikir betapa PHP-nya aku. Bisa kau
bayangkan bagaimana rasanya bertanggung jawab terhadap teman-teman yang kau
rangkul menuju impian bersama, tiba-tiba harus kau suruh mereka pergi untuk
mencari kelompok KKN lain. Dan separuh dari mereka adalah orang-orang yang
dekat denganmu. Sakitnya tuh di perasaan. Impian ke Tanah Papua pun saat itu
sudah ta jadi prioritas utama. KKN bersama orang-orang terdekat sudah tak bisa
diharapkan lagi. Hingga akhirnya aku menemukan kelompok KKN yang berencana
mengabdi di Papua juga, namun nama lokasinya tak pernah ku dengar, dibaca saja
susah. Nekatlah aku daftar wawancara dengan modal cv ala kadarnya dan tingkat
kepasrahan maksimal, apalagi setelah aku cermati nggak ada lowongan untuk
mahasiswa dengan latar belakang pendidikanku.
Kenekatanku
masih berlanjut coy. Masih ingat aku saat itu janjian wawancara jam 3 sore di
kampus tetangga. Berangkatlah aku. Jeng...jeng...! Hujan deras mengirim sinyal tackling padaku. Hujan deras, angin
kencang, dan banjir di mana-mana. So sejam lebih aku terjebak di depan toko
menunggu banjir di utara Selokan Mataram surut. Duh, nggak sampai di situ.
Pertama dateng ke lokasi wawancara aku bertemu orang-orang super bawel yang
ngobrol pakai gaya dari planet lain. Plis men, aku anak sainstek. Kulturku
bukan seperti itu. O ya nama tiga alien itu ada si Moli, Andhira, sama Saukat.
Walaupun ada satu mbak-mbak baik yang masih serumpun kultur denganku, Mbak Iim.
Wawancaralah aku dengan seribu pertanyaan yang akhirnya dijawab sendiri sama
pewawancaranya (Saukat). Singkat cerita, beberapa hari kemudian aku dinyatakan
diterima.
Nah dari
takdir inilah perjalanan imanku dimulai. Sempet shock saat tahu temen-temen
senior kebanyakan adalah ukhti-ukhti dan para ikhwan. Men, aku bukan anak alim
:3. Butuh penyesuaian saat tinggal bersama mereka. Mulai dari kebiasaan
berpakaian hingga ke ideologi. Bayangkan men, di antara mereka kamu menjadi
merasa berdosa untuk memakai celana jens (apalagi celanaku agak ketat),
kerudung yang transparan, dan tidak memakai kaos kaki. Pertemuan dengan mereka
benar-benar memberikanku pelajaran yang sangat berharga. Ya walaupun awalnya
aku masih merasa risih dengan kebiasaan mereka, namun lambat laun aku mulai
terhanyut dan menikmatinya. Mulai dari sholat jamaah bersama, tadarus
Al-Qur’an, hingga diskusi bersama. Hingga di suatu kala di hari yang aku lupa,
aku merasa perlu melakukan revolusi imanku. Karena aku sadar betapa besar
anugerah Allah yang telh diberikan padaku. Karena aku sadar atas perjalanan
panjang ini, akan sangat rugi jika aku tak mendapatkan hikmah apa pun saat
kondisi lingkungan pun mendukung untuk melakukan suatu perubahan positif dalam
hidupku. Maka saat aku hendak pulang ke Jawa, ku tinggalkanlah semua pakaian
jahiliyahku di Papua (maaf ya Pak Nico nyampah). Ku niatkan serius belajar
bersama teman-teman AAIku, belajar di kajian bersamapara ukhti, belajar mengaji
yang benar bersama kelompok qira’ati, membiasakan membaca Al-Qur’an setiap
hari, sholat berjamaah, mengambil mata kuliah studi agam kotekstual,
memperbanyak diskusi keagamaan, memperbaiki penampilanku dalam berpakaian yang
lebih syar’i. Dan yang kudapatkan sekarang adalah ketenangan.
Terima kasih
Ya Allah inikah yang kau sebut sebagai hidayah, inikah yang kau janjikan dari
Lailatul Qadr? Sebuah ketenangan jiwa. Terima kasih ukhti-ukhti yang menjadi
inspirasi bagiku. Terima kasih untuk seseorang yang spesial dalam catatan
hatiku, awalnya kamulah penyebab perubahan ini. Dan aku tahu itu salah, karena perubahan ini harusnya karena Allah
bukan karena sebab. Tapi kini aku menempatkanmu sebagai salah satu
inspirasi terhebat di perjalanan revolusi ini. Terima kasih kawanku yang sudah
memberikan julukan Ibu-Ibu Pengajian. Kini aku sedang dalam perjalanan
berproses menjadi sosok Anna Althafunnissa. Dan mungkin ini adalah jawaban
kenapa aku selalu dipertemukan bersama orang-orang yang baik sebelumnya, dan
selalu dijauhkan dari orang-orang yang kurang baik menurut Allah. Teruntuk teman-teman
Ibu-Ibu Pengajian, terima kasih kalian selalu menemaniku di tiga tahun terakhir
ini. Yuk berkembang bersama.
Inilah
kisahku, inilah jawabanku atas pertanyaan kalian mengapa aku sangat berubah
sepulang KKN 2 bulan lalu. Ya aku memang berubah, berubah mencari yang harus
kuperbaiki. Namun kasihku pada kalian tak akan pernah berubah di makan
lekangnya “kala”. Untuk teman-teman Pengejar Matahari Supiori, kalian adalah
cara Allah yang indah untuk membawaku ke titik ini. Jadi inilah sebabnya kalian
spesial. Bukan karena aku tak punya kawan, tentu tidak. Tapi kalian adalah
insprator hebat dalam perjalanan revolusiku.
Langganan:
Postingan (Atom)