Revolusi Iman
Perkataan
adalah doa. Memang benar adanya. Entah kapan olok-olokan itu berkembang dan
menjadi nama yang lekat menempel pada segerombolan kawan sepermainanku, bernama
“Ibu-Ibu Pengajian”. Aku tak tahu kenapa nama itulah yang kalian berikan padaku
dan teman-teman.
“Iuuuh...,
apa-apaan sih?” Batinku kesal setiap kali mendengar kalian memanggil kami
Ibu-Ibu Pengajian.
“Menurut
kalian, kami sealim itukah? Kalian salah tau...!” Berontakku pada kalian.
Kami adalah
segerombolan mahasiswi yang berkuliah di prodi dengan beban praktikum tiada
berujung. Tak pantas kami sebut kami gank, lebih indah jika kau memanggil kami
kelompok sepermainan. Kami adalah pelangi, bagian dari kami berwarna-warni. Ada
yang ratu akademis, ratu administratif, anak selow, aktivis, idola kakak angkatan, hingga yang biasa-biasa saja
pun ada. Memang, dari luar kami terlihat kalem, alim, rajin, dan image positif lain yang ada di dunia ini
menempel pada kami. Mungkin itu yang bikin salah satu kompor di kampus nge-justice kami
dengan cap Ibu-Ibu Pengajian, padahal saat itu penampilan kami biasa-biasa aja,
ndak ada yang alim banget. Semua
memang biasa-biasa aja.
Dari julukan
itu, setiap kali ada yang memanggilku dengan panggilan Ibu-Ibu Pengajian pun
aku memilih diam. Hanya bilang, amin saja.
Nggak ada pikiran untuk benar-benar jadi Ibu-Ibu Pengajian dengan segala cap
seperti ukhti-ukhti yang bagiku saat
itu nggak banget.
Hari-hari
berlalu hingga tak terhitung lagi sudah berapa tahun kalian memanggilku bagian
dari kelompok Ibu-Ibu Pengajian. Memang pernah ada pikiran untuk menjadi sosok
seperti Anna Althafunnissa seperti di novel dan film “Ketika Cinta Bertasbih”,
lalu berharap bisa menemukan sosok Mas Azam yang ideal sebagai belahan jiwa
dunia dan akhirat. Namun angan itu tinggalah debu yang terhempas oleh angin.
Kalau
dipikir-pikir aku memang selalu didekatkan dengan golongan orang-orang yang
baik dan nggak neka-neka, bahkan
beberapa alim menurutku. Namun bukan berarti aku seseorang yang kalem, alim,
dan polos ya. Pergaulanku tak hanya terbatas pada orang-orang dengan tipikal
seperti itu, bahkan kadang aku bosan bersama mereka, lalu menganggap dunia
mereka bukanlah duniaku. Berkerudung pun baru aku lakukan setelah aku memasuki
dunia kuliahku. Dari dulu, aku lebih suka bergaul bersama orang-orang yang bisa
dibilang di luar garis batas dari kata alim, orang-orang pelarian dari monoisme
sikap terhadap segala peraturan, alias berandal.
Anehnya, sedekat-dekatnya aku bersama kelompok berandal ini pasti aku seperti dibawa alur yang mengantarkanku
kembali bergaul dengan anak-anak alim, kalem, cerdas, prestatif, dan aktif itu.
Aku ketika bersama para berandal selalu
menjadi obyek penyelamatan. Kepala sekolahku sampai bilang, “Stella, jangan
suka main sama mereka. Eman-eman kamunya!”
Loh? Saya baik-baik aja lo Bu. Mereka juga baik-baik kok sama saya. I’m Ok! Dan pola itu terjadi dari SMP
hingga sekarang aku kuliah. “Aku butuh keluar dari zona ini, aku pingin jadi bad girl aja. Biar hidup lebih seru,
nggak terkesan pasif.” Batinku dalam hati.
AAI? Sebuah
program pendampingan belajar pendalaman agama Islam di seluruh kampus pada saat
itu, sebelum akhirnya dibubarkan karena dianggap sebagai ajang perekrutan
partai politik di kampus. Bagiku AAI dulu adalah sesuatu yang bisa aku katakan nggak banget sih, masya Allah ya aku itu
dulu. Berangkat AAI adalah suatu cobaan yang berat bagiku. Entah setan apa yang
menempel di diriku, tapi itulah kenyataannya. Dari 100 persen pertemuan, bisa
dikatakan aku hanya datang sekitar setengahnya, setengahnya lagi aku malas
datang. Entah karena milih mending ngerjain laporan praktikum atau memilih
kumpul sama temen buat main bareng. Masya Allah ya. Tapi entah kenapa aku malah
memilih untuk meneruskan program AAI-ku ke season 2, padahal berangkat AAI
season 1 aja jarang kok ini malah mau lanjut. Entahlah kadang logikaku dengan
kecepatanku mengambil keputusan memang kalah CC mesin. Aku memang orang yang
sangat spontan.
Tepat setahun
lalu lebih beberapa bulan, aku bersama teman-temanku membangun mimpi untuk
mengabdi di Tanah Cenderawasih. Perjuangan cari dosen, ke LPPM, lembur
proposal, sibuk rekruitmen, dan berpusing-pusing cari dana saat itu adalah
agenda rutinku selama 9 bulan. Hingga aku pun mengorbankan beberapa
matakuliahku demi menunaikan tangung jawab sebagai tim pengusul KKN di Arborek,
Waigeo Meos Mansaar. Tapi, ternyata perjuangan panjangku untuk Arborek harus
berhenti di tanggal 20 Maret 2014. Usulanku tetap dinyatakan tidak lolos
setelah aku dan teman-temanku lembur mengejar deadline revisi proposal. Minggu
itu menjadi kala kelam dalam sejarah hidupku. Apalagi aku adalah otak
rekruitmen teman-teman seperjuanganku, kupikir betapa PHP-nya aku. Bisa kau
bayangkan bagaimana rasanya bertanggung jawab terhadap teman-teman yang kau
rangkul menuju impian bersama, tiba-tiba harus kau suruh mereka pergi untuk
mencari kelompok KKN lain. Dan separuh dari mereka adalah orang-orang yang
dekat denganmu. Sakitnya tuh di perasaan. Impian ke Tanah Papua pun saat itu
sudah ta jadi prioritas utama. KKN bersama orang-orang terdekat sudah tak bisa
diharapkan lagi. Hingga akhirnya aku menemukan kelompok KKN yang berencana
mengabdi di Papua juga, namun nama lokasinya tak pernah ku dengar, dibaca saja
susah. Nekatlah aku daftar wawancara dengan modal cv ala kadarnya dan tingkat
kepasrahan maksimal, apalagi setelah aku cermati nggak ada lowongan untuk
mahasiswa dengan latar belakang pendidikanku.
Kenekatanku
masih berlanjut coy. Masih ingat aku saat itu janjian wawancara jam 3 sore di
kampus tetangga. Berangkatlah aku. Jeng...jeng...! Hujan deras mengirim sinyal tackling padaku. Hujan deras, angin
kencang, dan banjir di mana-mana. So sejam lebih aku terjebak di depan toko
menunggu banjir di utara Selokan Mataram surut. Duh, nggak sampai di situ.
Pertama dateng ke lokasi wawancara aku bertemu orang-orang super bawel yang
ngobrol pakai gaya dari planet lain. Plis men, aku anak sainstek. Kulturku
bukan seperti itu. O ya nama tiga alien itu ada si Moli, Andhira, sama Saukat.
Walaupun ada satu mbak-mbak baik yang masih serumpun kultur denganku, Mbak Iim.
Wawancaralah aku dengan seribu pertanyaan yang akhirnya dijawab sendiri sama
pewawancaranya (Saukat). Singkat cerita, beberapa hari kemudian aku dinyatakan
diterima.
Nah dari
takdir inilah perjalanan imanku dimulai. Sempet shock saat tahu temen-temen
senior kebanyakan adalah ukhti-ukhti dan para ikhwan. Men, aku bukan anak alim
:3. Butuh penyesuaian saat tinggal bersama mereka. Mulai dari kebiasaan
berpakaian hingga ke ideologi. Bayangkan men, di antara mereka kamu menjadi
merasa berdosa untuk memakai celana jens (apalagi celanaku agak ketat),
kerudung yang transparan, dan tidak memakai kaos kaki. Pertemuan dengan mereka
benar-benar memberikanku pelajaran yang sangat berharga. Ya walaupun awalnya
aku masih merasa risih dengan kebiasaan mereka, namun lambat laun aku mulai
terhanyut dan menikmatinya. Mulai dari sholat jamaah bersama, tadarus
Al-Qur’an, hingga diskusi bersama. Hingga di suatu kala di hari yang aku lupa,
aku merasa perlu melakukan revolusi imanku. Karena aku sadar betapa besar
anugerah Allah yang telh diberikan padaku. Karena aku sadar atas perjalanan
panjang ini, akan sangat rugi jika aku tak mendapatkan hikmah apa pun saat
kondisi lingkungan pun mendukung untuk melakukan suatu perubahan positif dalam
hidupku. Maka saat aku hendak pulang ke Jawa, ku tinggalkanlah semua pakaian
jahiliyahku di Papua (maaf ya Pak Nico nyampah). Ku niatkan serius belajar
bersama teman-teman AAIku, belajar di kajian bersamapara ukhti, belajar mengaji
yang benar bersama kelompok qira’ati, membiasakan membaca Al-Qur’an setiap
hari, sholat berjamaah, mengambil mata kuliah studi agam kotekstual,
memperbanyak diskusi keagamaan, memperbaiki penampilanku dalam berpakaian yang
lebih syar’i. Dan yang kudapatkan sekarang adalah ketenangan.
Terima kasih
Ya Allah inikah yang kau sebut sebagai hidayah, inikah yang kau janjikan dari
Lailatul Qadr? Sebuah ketenangan jiwa. Terima kasih ukhti-ukhti yang menjadi
inspirasi bagiku. Terima kasih untuk seseorang yang spesial dalam catatan
hatiku, awalnya kamulah penyebab perubahan ini. Dan aku tahu itu salah, karena perubahan ini harusnya karena Allah
bukan karena sebab. Tapi kini aku menempatkanmu sebagai salah satu
inspirasi terhebat di perjalanan revolusi ini. Terima kasih kawanku yang sudah
memberikan julukan Ibu-Ibu Pengajian. Kini aku sedang dalam perjalanan
berproses menjadi sosok Anna Althafunnissa. Dan mungkin ini adalah jawaban
kenapa aku selalu dipertemukan bersama orang-orang yang baik sebelumnya, dan
selalu dijauhkan dari orang-orang yang kurang baik menurut Allah. Teruntuk teman-teman
Ibu-Ibu Pengajian, terima kasih kalian selalu menemaniku di tiga tahun terakhir
ini. Yuk berkembang bersama.
Inilah
kisahku, inilah jawabanku atas pertanyaan kalian mengapa aku sangat berubah
sepulang KKN 2 bulan lalu. Ya aku memang berubah, berubah mencari yang harus
kuperbaiki. Namun kasihku pada kalian tak akan pernah berubah di makan
lekangnya “kala”. Untuk teman-teman Pengejar Matahari Supiori, kalian adalah
cara Allah yang indah untuk membawaku ke titik ini. Jadi inilah sebabnya kalian
spesial. Bukan karena aku tak punya kawan, tentu tidak. Tapi kalian adalah
insprator hebat dalam perjalanan revolusiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar