Sabtu, 22 November 2014

Revolusi Iman



Revolusi Iman

Perkataan adalah doa. Memang benar adanya. Entah kapan olok-olokan itu berkembang dan menjadi nama yang lekat menempel pada segerombolan kawan sepermainanku, bernama “Ibu-Ibu Pengajian”. Aku tak tahu kenapa nama itulah yang kalian berikan padaku dan teman-teman.
“Iuuuh..., apa-apaan sih?” Batinku kesal setiap kali mendengar kalian memanggil kami Ibu-Ibu Pengajian.
“Menurut kalian, kami sealim itukah? Kalian salah tau...!” Berontakku pada kalian.
Kami adalah segerombolan mahasiswi yang berkuliah di prodi dengan beban praktikum tiada berujung. Tak pantas kami sebut kami gank, lebih indah jika kau memanggil kami kelompok sepermainan. Kami adalah pelangi, bagian dari kami berwarna-warni. Ada yang ratu akademis, ratu administratif, anak selow, aktivis, idola kakak angkatan, hingga yang biasa-biasa saja pun ada. Memang, dari luar kami terlihat kalem, alim, rajin, dan image positif lain yang ada di dunia ini menempel pada kami. Mungkin itu yang bikin salah satu kompor di kampus nge-justice kami dengan cap Ibu-Ibu Pengajian, padahal saat itu penampilan kami biasa-biasa aja, ndak ada yang alim banget. Semua memang biasa-biasa aja.
Dari julukan itu, setiap kali ada yang memanggilku dengan panggilan Ibu-Ibu Pengajian pun aku memilih diam. Hanya bilang, amin saja. Nggak ada pikiran untuk benar-benar jadi Ibu-Ibu Pengajian dengan segala cap seperti ukhti-ukhti yang bagiku saat itu nggak banget.
Hari-hari berlalu hingga tak terhitung lagi sudah berapa tahun kalian memanggilku bagian dari kelompok Ibu-Ibu Pengajian. Memang pernah ada pikiran untuk menjadi sosok seperti Anna Althafunnissa seperti di novel dan film “Ketika Cinta Bertasbih”, lalu berharap bisa menemukan sosok Mas Azam yang ideal sebagai belahan jiwa dunia dan akhirat. Namun angan itu tinggalah debu yang terhempas oleh angin.
Kalau dipikir-pikir aku memang selalu didekatkan dengan golongan orang-orang yang baik dan nggak neka-neka, bahkan beberapa alim menurutku. Namun bukan berarti aku seseorang yang kalem, alim, dan polos ya. Pergaulanku tak hanya terbatas pada orang-orang dengan tipikal seperti itu, bahkan kadang aku bosan bersama mereka, lalu menganggap dunia mereka bukanlah duniaku. Berkerudung pun baru aku lakukan setelah aku memasuki dunia kuliahku. Dari dulu, aku lebih suka bergaul bersama orang-orang yang bisa dibilang di luar garis batas dari kata alim, orang-orang pelarian dari monoisme sikap terhadap segala peraturan, alias berandal. Anehnya, sedekat-dekatnya aku bersama kelompok berandal ini pasti aku seperti dibawa alur yang mengantarkanku kembali bergaul dengan anak-anak alim, kalem, cerdas, prestatif, dan aktif itu. Aku ketika bersama para berandal selalu menjadi obyek penyelamatan. Kepala sekolahku sampai bilang, “Stella, jangan suka main sama mereka. Eman-eman kamunya!” Loh? Saya baik-baik aja lo Bu. Mereka juga baik-baik kok sama saya. I’m Ok! Dan pola itu terjadi dari SMP hingga sekarang aku kuliah. “Aku butuh keluar dari zona ini, aku pingin jadi bad girl aja. Biar hidup lebih seru, nggak terkesan pasif.” Batinku dalam hati.
AAI? Sebuah program pendampingan belajar pendalaman agama Islam di seluruh kampus pada saat itu, sebelum akhirnya dibubarkan karena dianggap sebagai ajang perekrutan partai politik di kampus. Bagiku AAI dulu adalah sesuatu yang bisa aku katakan nggak banget sih, masya Allah ya aku itu dulu. Berangkat AAI adalah suatu cobaan yang berat bagiku. Entah setan apa yang menempel di diriku, tapi itulah kenyataannya. Dari 100 persen pertemuan, bisa dikatakan aku hanya datang sekitar setengahnya, setengahnya lagi aku malas datang. Entah karena milih mending ngerjain laporan praktikum atau memilih kumpul sama temen buat main bareng. Masya Allah ya. Tapi entah kenapa aku malah memilih untuk meneruskan program AAI-ku ke season 2, padahal berangkat AAI season 1 aja jarang kok ini malah mau lanjut. Entahlah kadang logikaku dengan kecepatanku mengambil keputusan memang kalah CC mesin. Aku memang orang yang sangat spontan.
Tepat setahun lalu lebih beberapa bulan, aku bersama teman-temanku membangun mimpi untuk mengabdi di Tanah Cenderawasih. Perjuangan cari dosen, ke LPPM, lembur proposal, sibuk rekruitmen, dan berpusing-pusing cari dana saat itu adalah agenda rutinku selama 9 bulan. Hingga aku pun mengorbankan beberapa matakuliahku demi menunaikan tangung jawab sebagai tim pengusul KKN di Arborek, Waigeo Meos Mansaar. Tapi, ternyata perjuangan panjangku untuk Arborek harus berhenti di tanggal 20 Maret 2014. Usulanku tetap dinyatakan tidak lolos setelah aku dan teman-temanku lembur mengejar deadline revisi proposal. Minggu itu menjadi kala kelam dalam sejarah hidupku. Apalagi aku adalah otak rekruitmen teman-teman seperjuanganku, kupikir betapa PHP-nya aku. Bisa kau bayangkan bagaimana rasanya bertanggung jawab terhadap teman-teman yang kau rangkul menuju impian bersama, tiba-tiba harus kau suruh mereka pergi untuk mencari kelompok KKN lain. Dan separuh dari mereka adalah orang-orang yang dekat denganmu. Sakitnya tuh di perasaan. Impian ke Tanah Papua pun saat itu sudah ta jadi prioritas utama. KKN bersama orang-orang terdekat sudah tak bisa diharapkan lagi. Hingga akhirnya aku menemukan kelompok KKN yang berencana mengabdi di Papua juga, namun nama lokasinya tak pernah ku dengar, dibaca saja susah. Nekatlah aku daftar wawancara dengan modal cv ala kadarnya dan tingkat kepasrahan maksimal, apalagi setelah aku cermati nggak ada lowongan untuk mahasiswa dengan latar belakang pendidikanku.
Kenekatanku masih berlanjut coy. Masih ingat aku saat itu janjian wawancara jam 3 sore di kampus tetangga. Berangkatlah aku. Jeng...jeng...! Hujan deras mengirim sinyal tackling padaku. Hujan deras, angin kencang, dan banjir di mana-mana. So sejam lebih aku terjebak di depan toko menunggu banjir di utara Selokan Mataram surut. Duh, nggak sampai di situ. Pertama dateng ke lokasi wawancara aku bertemu orang-orang super bawel yang ngobrol pakai gaya dari planet lain. Plis men, aku anak sainstek. Kulturku bukan seperti itu. O ya nama tiga alien itu ada si Moli, Andhira, sama Saukat. Walaupun ada satu mbak-mbak baik yang masih serumpun kultur denganku, Mbak Iim. Wawancaralah aku dengan seribu pertanyaan yang akhirnya dijawab sendiri sama pewawancaranya (Saukat). Singkat cerita, beberapa hari kemudian aku dinyatakan diterima.
Nah dari takdir inilah perjalanan imanku dimulai. Sempet shock saat tahu temen-temen senior kebanyakan adalah ukhti-ukhti dan para ikhwan. Men, aku bukan anak alim :3. Butuh penyesuaian saat tinggal bersama mereka. Mulai dari kebiasaan berpakaian hingga ke ideologi. Bayangkan men, di antara mereka kamu menjadi merasa berdosa untuk memakai celana jens (apalagi celanaku agak ketat), kerudung yang transparan, dan tidak memakai kaos kaki. Pertemuan dengan mereka benar-benar memberikanku pelajaran yang sangat berharga. Ya walaupun awalnya aku masih merasa risih dengan kebiasaan mereka, namun lambat laun aku mulai terhanyut dan menikmatinya. Mulai dari sholat jamaah bersama, tadarus Al-Qur’an, hingga diskusi bersama. Hingga di suatu kala di hari yang aku lupa, aku merasa perlu melakukan revolusi imanku. Karena aku sadar betapa besar anugerah Allah yang telh diberikan padaku. Karena aku sadar atas perjalanan panjang ini, akan sangat rugi jika aku tak mendapatkan hikmah apa pun saat kondisi lingkungan pun mendukung untuk melakukan suatu perubahan positif dalam hidupku. Maka saat aku hendak pulang ke Jawa, ku tinggalkanlah semua pakaian jahiliyahku di Papua (maaf ya Pak Nico nyampah). Ku niatkan serius belajar bersama teman-teman AAIku, belajar di kajian bersamapara ukhti, belajar mengaji yang benar bersama kelompok qira’ati, membiasakan membaca Al-Qur’an setiap hari, sholat berjamaah, mengambil mata kuliah studi agam kotekstual, memperbanyak diskusi keagamaan, memperbaiki penampilanku dalam berpakaian yang lebih syar’i. Dan yang kudapatkan sekarang adalah ketenangan.
Terima kasih Ya Allah inikah yang kau sebut sebagai hidayah, inikah yang kau janjikan dari Lailatul Qadr? Sebuah ketenangan jiwa. Terima kasih ukhti-ukhti yang menjadi inspirasi bagiku. Terima kasih untuk seseorang yang spesial dalam catatan hatiku, awalnya kamulah penyebab perubahan ini. Dan aku tahu itu salah, karena perubahan ini harusnya karena Allah bukan karena sebab. Tapi kini aku menempatkanmu sebagai salah satu inspirasi terhebat di perjalanan revolusi ini. Terima kasih kawanku yang sudah memberikan julukan Ibu-Ibu Pengajian. Kini aku sedang dalam perjalanan berproses menjadi sosok Anna Althafunnissa. Dan mungkin ini adalah jawaban kenapa aku selalu dipertemukan bersama orang-orang yang baik sebelumnya, dan selalu dijauhkan dari orang-orang yang kurang baik menurut Allah. Teruntuk teman-teman Ibu-Ibu Pengajian, terima kasih kalian selalu menemaniku di tiga tahun terakhir ini. Yuk berkembang bersama.
Inilah kisahku, inilah jawabanku atas pertanyaan kalian mengapa aku sangat berubah sepulang KKN 2 bulan lalu. Ya aku memang berubah, berubah mencari yang harus kuperbaiki. Namun kasihku pada kalian tak akan pernah berubah di makan lekangnya “kala”. Untuk teman-teman Pengejar Matahari Supiori, kalian adalah cara Allah yang indah untuk membawaku ke titik ini. Jadi inilah sebabnya kalian spesial. Bukan karena aku tak punya kawan, tentu tidak. Tapi kalian adalah insprator hebat dalam perjalanan revolusiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar