A Deep Heart
Hembusan angin
dan guguran daun waktu itu seperti menghembuskan sebagian isi hatiku. Gerimis
hujan menyelinap membasahi pipi yang telah basah oleh hati yang sendu.
Pikiranku tak sejalan lagi dengan isi hati yang kupendam, sementara jantung ini
tak mau mendengarkan jiwa ini lagi.
Empat belas
November dua ribu dua belas, akalku sedang mencari jalan keluar dari pertanyaan
yang membelenggu selama ini. Apakah dia atau dia yang selama ini menggetarkan
kalbu ini. Dua pria dengan karakter yang berbeda kini benar-benar membuat
kupu-kupu yang melayang di hatiku terbang tak terarah sampai-sampai ia ingin
pergi tenggelam bersama cucuran air mata hati ini.
Aku genggam
selembar kertas berisi surat dari seseorang yang sebelumnya tidak aku ketahui
siapa empunya. Surat ini adalah surat yang berharga untukku. Setiap hari Jumat
pagi aku selalu menemukan surat yang seperti ini ditumpukkan isi lokerku yang
sesak oleh buku-buku kuliah. Setiap kali aku membaca surat ini aku selalu
kembali bersemangat untuk menghadapi kerasnya hidup. Kata-kata yang tertulis di
dalam surat-surat ini selalu ada senyum dan sapa yang hangat dari seseorang,
dan selalu ada kata-kata indah yang memberiku motivasi untuk tersenyum
menjalani hari-hariku. Ya, kata-kata dalam surat ini memang seperti magis yang
bisa menghipnotisku dan membawaku ke dalam dunia kebahagiaan.
Hari ini
kudapatkan dua lembar surat di dalam lokerku. Aneh sekali surat yang kudapatkan
biasanya selalu rapi dan terlipat indah, namun kali ini tidak. Surat yang
kudapat kali ini kucal dan agak basah. Aku tak mau menebak-nebak kenapa surat
kali ini berbeda, saat ini aku sedang terburu-buru untuk mengikuti ujian,
kemudian dengan tergesa-gesa aku mengambil surat itu dan aku letakkan di dalan
tas kuliahku.
Suasana pagi
ini begitu sepi, hanya ada beberapa mahasiswa yang duduk tenang di dalam kelas.
Ujian kali ini nampaknya agak berbeda bagiku karena ini adalah pertama kalinya
aku menempuh ujian di luar negeri. Sudah beberapa bulan sejak kepindahanku ke
Jepang akhirnya aku bisa menguji kemampuanku melaui ujian ini.
Jarum jam
sedari tadi berdetak mengikuti irama tiga buah penari kecil berujung lancip kini telah mengarahkan
sudutnya ke angka pukul sepuluh kurang lima menit. Seorang bapak tua dengan
mata yang sipit memasuki ruangan ujian. Memang, adat di negeri orang berbeda
degan adat di negeri sendiri. Biasanya jika di Indonesia, beberapa menit
sebelum ujian mahasiswa lebih suka berdiskusi belajar bersama hingga waktu
ujian tiba, kemudian mahasiswa barulah masuk ke dalam ruang pertempuran hidup dan
mati selama satu semester. Pengalaman yang aku rasakan di negeri ini sangat
berbeda, mahasiswa di sini lebih suka berdiskusi jauh-jauh hari sebelum ujian
dilaksanakan dan di hari-H ujian mereka lebih suka diam sambil membaca buku
atau mendengarkan musik. Sementara itu biasanya dosen akan memasuki ruangan
beberapa menit sebelum ujian dimulai, oleh karena itu tidak ada kata terlambat
bagi mahasiswa yang menempuh ujian karena di sini terlambat sama dengan malu.
“Good
Morning.” Sapa seorang bapak tua yang duduk di depan kelas.
“Morning.”Serentak
seisi kelas menyambut hangat sapaan bapak tua tadi.
Teman-teman
sekelasku tampak langsung menutup semua buku yang mereka baca dan mengeluarkan
sebuah pena. Sementara itu, bapak tua tadi langsung membagikan selembar kertas yang
bertuliskan beberapa pertanyaan dengan ujung kertas yang melambai-lambai
seperti mengajakku untuk cepat menuliskan gores jawabanku di kertas itu.
Suasana kelas
sangat hening sekali, masing-masing orang tengah sibuk berkutat pada
lembar-lembar kertas yang sedari tadi menggoda jemari untuk menggoreskan
imaginer masing-masing. Aku pun tenggelam dalam dunia imajinasi yang berpangkal
di otakku ini sembari memikirkan teori-teori baru yang aku dapatkan selama
kuliah di Jepang.
Pukul telah
menunjukkan jam sebelas lewat lima menit sekarang, separuh dari teman-temanku
telah selesai mengerjakan soal-soal ujian ini. Aku juga tengah menyelesaikan
soal terakhir dari dosenku, namun di saat aku menulis dadaku tiba-tiba terasa
sesak dan jantungku berdebar tak karuan. Belum pernah kurasakan debaran jantung
yang seperti ini, aku lalu memegang dadaku sambil merasakan debaran yang begitu
kencang. Tiba-tiba Pak Dosen memanggilku dan menayakan apakah ada yang terjadi
kepadaku, lalu aku menjawab tidak apa-apa sambil melanjutkan pekerjaanku.
Aneh sekali
jantungku dapat berdetak kencang seperti ada bom saja di dalamnya, padahal aku
tidak merasa gugup sama sekali saat mengerjakan soal ujian tadi.
“Mengapa aku
bisa deg-degan kayak gitu ya tadi?”Batinku dalam hati.
Di sebuah
lorong panjang aku berdiri menatap langit melalui sebuah jendela geser di
sepanjang tembok. Betapa biru langit pagi ini dengan sedikit goresan awan putih
di angkasa. Angin berhembus meniupkan guguran daun yang menyelimuti halaman
kampusku pagi ini, sementara itu kumpulan bunga-bunga sakura tampak mulai
bermekaran menghiasi sepanjang jalanan di sekeliling kampusku.
Aku hampir
saja lupa membaca surat yang kudapat pagi ini. Aku merogoh kantong tasku,
mencari selembar kertas kucal. Surat pagi ini bercerita padaku tentang indahnya
bunga sakura yang diam-diam mulai bermekaran di seluruh kota. Bunga-bunga
sakura yang bermekaran pagi ini seperti memberikan serbuk-serbuk magis yang
membuat setiap orang tersenyum gembira. Bunga sakura yang kubaca dari surat ini
adalah bingkisan permen dari Tuhan bagi siapa saja yang mampu menjaga asanya
tetap hangat di winter yang dingin.
Aku pun tersenyum lebar setelah membaca surat ini.
Aku terus
menatap keluar jendela sambil sesekali menoleh ke bawah melihat aktivitas
teman-teman baruku di Jepang. Sebagian dari mereka ada yang duduk di bangku
taman sambil mendengarkan musik dan membaca buku, adapula yang bercanda bersama
kumpulan mahasiswa lain. Aku terus berdiri sambil menggenggam surat yang aku
dapatkan pagi ini, namun tanpa aku sadari selongsong angin datang mencuri
kertasku hingga jatuh ke luar jendela. Aku langsung berlari menuju tangga untuk
turun ke bawah dan mengambil surat istimewaku yang jatuh tertiup angin.
Sesampainya di
bawah aku mencari di sekeliling taman untuk menemukan surat itu, namun tak
satupun jejak aku temukan. Selembar kertas itu hilang seperti lenyap di telan
bumi. Aku kemudian mencari di balik semak-semak, berharap surat itu jatuh dan
tersangkut di sana. Akan tetapi hasilnya sama saja, aku tidak bisa menemukan surat
itu.
Tiba-tiba ku
dengar langkah kaki yang berhenti tepat di belakangku, au menoleh dan ku teukan
seorang perempuan tersenyum menatapku. Aku pun membalas senyumannya sambil
mengangguk dan mencari kembali suratku yang hilang, namun sesaat sebelum aku melangkah
dari tempat itu, perempuan itu memanggilku.
“Hai kamu, apa
kamu kehilangan sesuatu?” Tanya perempuan itu kepadaku.
“Ya, suratku
terjatuh dari atas sana dan aku sedang mencarinya. Ehm... Kamu mahasiswa dar
Indonesia?” Tanyaku heran mengapa perempuan di depanku bertanya padaku dengan
memakai Bahasa Indonesia.
“Iya, kenalkan
aku Zahra dari Kalimantan. Salam kenal.” Jawabnya sambil membungkukkan badan
sesuai adab orang Jepang.
“Annisa dari Jakarta.” Jawabku sambil
membungkukkan badan juga.
“Annisa,
mungkin surat ini punyamu.” Kata Zahra sambil menyodorkan secarik kertas
kepadaku.
Aku kemudian
membaca tulisan pada kertas yang diberikan oleh Zahra, ternyata benar ini
memang suratku.
“Terima kasih
banyak ya Zahra.” Jawabku penuh senyum.
“Sama-sama. Oh
ya, maaf tadi aku sempat mebaca isi suratmu. Tulisan di dalamnya sungguh luar
biasa. Tulisan itu apa kamu yang menulisnya?”
“Oh... enggak
apa-apa Zahra. Ini bukan tulisanku, tetapi tulisan seseorang yang selalu
dikirimkan kepadaku.” Aku menjawab sambil tersenyum menatap Zahra
Begitulah
pertemuanku dengan Zahra dimulai. Sejak itu kami menjadi sangat dekat, walaupun
Zahra lebih tua setahun dariku.
Sejak
hari aku bertemu Zahra, aku semakin sering menjelajahi kota Tokyo. Zahra sering
kali mengajakku untuk berkeliling menjelajahi tempat-tempat unik di kota ini.
Aku senang-senang saja saat harus menemani Zahra mengulik sudut dari setiap
tepat yang kami kunjungi setiap akhir pekan. Zahra memang sangat menyukai dunia
fotografi, dan aku tentu saja sangat menyukai dunia petualangan. Setiap
gang-gang kecil di kota ini biasanya akan kami susuri hanya untuk menemukan sebuah toko permen tua.
Hari ini aku
dan Zahra menyempatkan diri untuk pergi ke danau dekat Taman Kota. Seperti
biasa, Zahra selalu asyik dengan sejuta mata kameranya sambil sesekali
mencuri-curi fotoku saat memandangi indahnya air danau yang jingga terkena
pantulan sinar senja. Aku lebih memilih berjalan-jalan menyusuri danau dan
melihat-lihat bunga sakura yang malu-malu mulai bermekaran di antara
ranting-ranting pohon yang berliuk. Sungguh ini adalah pemandangan terindah
yang pernah aku lihat sejak aku tiba di Jepang.
Aku kemudian
duduk di sebuah kursi panjang di tepian danau, sambil mengamati sepasang angsa
yang saling menatap satu sama lain. Aku tersenyum kecil sambil berpikir sungguh
Maha Agung Tuhan yang telah menciptakan setiap makhluk di dunia ini
berpasang-pasangan.
“Duuuk...”Suara
bola memantul dari kepalaku.
“Aow...”
Suaraku mengaduh.
Tiba-tiba saja
ada benda yang memantul di kepalaku. Kepalaku langsung terasa pusing, dan
setelah ku tengok itu adalah bola basket. Batinku siapa orang yang sudah tidak
sopan melemparku dengan bola basket sebesar ini.
“Sorry...”Ku
dengar seorang laki-laki mengucapkan kata maaf sambil terengah-engah.
“Ha?” Jawabku
masih terheran-heran.
Lelaki itu
nampak tidak asing bagiku, namun aku masih belum dapat menebak siapa laki-laki
yang berdiri di hadapanku ini. Penampilan lelaki ini tampak konyol, ia memakai
bandana dengan hiasan mata lebah di atasnya. Senyum kecilku pun sulit aku
tahan.
“Sorry for
this ball.” Katanya sambil membungkukkan badan
“Never
mind.”Aku berkata sambil membalas membungkukkan badan. "Ahh..., orang Indonesia." Batinku.
Tiba-tiba
kudengar suara anak kecil memanggil lelaki di hadapanku, anak kecil itu
kemudian menghampiri lelaki di hadapanku ini.
“Kakaaak...Kakaak !”Teriak seorang anak kecil.
“Jangan lari,
nanti jatuh!”Sahut lelaki yang berdiri di hadapanku.
Lelaki dan
anak perempuan itu kemudian berpamitan kepadaku dan sekali lagi meminta maaf
atas bola yang menimpa kepalaku tadi. Tiba-tiba aku mendengar suara Zahra
memanggil nama seseorang yang kutebak adalah nama dari lelaki ini.
“Mas Ilham,
hai!” Sapa Zahra.
“Lho, Zahra
kamu ngapain di sini? Bukannya kamu tadi pamit untuk ketemu seseorang?” Tanya
lelaki itu.
“Ehm... itu,
aku janjian ketemu orang itu di sini Mas, lho Mas ngapain di sini?”Zahra
menjawab degan akrab.
Aku semakin
menyerngitkan dahi, menebak-nebak siapa sebenarnya laki-laki yag berdiri di
hadapanku ini. Mengapa Zahra nampak begitu akrab dengan orang yang bernama
Ilham ini, lalu mengapa Zahra tidak bercerita bahwa dia memiliki janji bertemu
seseorang di sini?
“Oh, ini aku
sedang jalan-jalan dengan Faniza dan Fatir. Tadi bola yang dilempar Fatir
mengenai mbak ini Ra.” Jawab Ilham memecah keheningan.
“Ya ampun
masih jahil aja si Fatir. Oh ya Mas Ilham, kenalkan ini Annisa.”
“Annisa,
kenalkan ini mas Ilham.” Ucap Zahra sambil mengenalkanku pada lelaki yang baru
saja meminta maaf kepaku itu.
“Halo,
senang bertemu . Maaf ya, tadi bolanya kena kepalamu. Apa ada yang sakit?”
Tanya Mas Ilham kepadaku.
“Enggak Mas,
Cuma sedikit pusing aja kok. Kenalkan juga Mas, aku Annisa.”Jawabku sambil
menjabat tangan Mas IIham.
Ada perasaan
aneh ketika aku menjabat tangan Mas Ilham dan melihat tatapan matanya.
Jantungku tiba-tiba berdetak kencang seperti orang yang habis berlari. Debaran
jantung ini seperti yang aku rasakan ketika aku mengerjakan soal ujian
pertamaku tempo hari.
“Zahra,
Annisa, aku pamit dulu ya. Kasihan Fatir kutinggal di sana.”
“Ayo Niza,
pamitan sama kakak-kakak.” Ucap Mas Ilham
“Dadah kakak
Ra, kakak nica. Aku pamit dulu ya, dadah!”Lambaian tangan Faniza meninggalkan
senyum kecil di hati kami berdua.
“Ra, kudengar
tadi kamu punya janji ya ketemu seseorang di sini?”Tanyaku ingin tahu.
“He em. Aku
lupa ngasih tahu kamu ya Nis? Iya, sebentar lagi aku ingin ketemu kenalan
lamaku, kamu ikut ya Nis!” Rayu Zahra kepadaku.
“Sekarang
sudah sore banget Ra, aku ada janji makan malam dengan keluarga Pamanku. Aku
enggak boleh telat malam ini, kamu sendiri aja ya. Enggak apa-apa kan?”Bujukku
kepada Zahra.
“Oklah kalau
begitu. Salam ya buat Tante Lina.” Zahra menjawab sambil tersenyum.
Aku pun
langsung bergegas pergi dari tempat yang sudah membuat kepalaku pusing karena
terkena lemparan bola itu sambil melambaikan tangan ke sahabatku Zahra.
Halte
bus di daerah sini sungguh sepi penumpang, hanya ada beberapa penumpang lanjut
usia yang turun di halte ini untuk menuju ke klinik pengobatan dekat sini.
Sementara itu hari mulai gelap, aku masih saja menunggu bus untuk pulang ke rumah.
Akhirnya bus
yang akan aku tumpangi datang, penumpang yang ada di dalamnya pun sangat
sedikit.
“Jegleekk...Ngiiik.”Suara
pintu bus terbuka.
Aku pun naik
ke bus itu dan mengeluarkan beberapa uang koin untuk menumpang di dalamnya. Begitu
aku duduk di kursi samping jendela, sepintas aku melihat sosok yang tidak asing
bagiku. Perawakannya tinggi, putih, dan matanya berwarna coklat tua. Pria itu
duduk di halte setelah aku naik ke dalam bus. Orang itu memakai topi dan
memegang sebuah kamera.
Aku tiba-tiba
langsung teringat kepada sosok yang pernah dekat bersamaku saat aku masih
kuliah di Jakarta. Sosok yang selalu mengisi hari-hariku dengan kebahagiaan,
namun akhirnya memberiku sesedihan yang mendalam. Apakah orang itu adalah
Fadhli? Ah, mungkin saja itu hanya perasaanku saja. Bus yang aku tumpangi pun
melaju semakin jauh meninggalkan sosok pria di halte itu.