Selasa, 30 Desember 2014

Tanpa Judul

tanpa judul
Srikandi?
Tak usah kau panggil aku itu.
Shinta?
Aku bukan wanita yang terlalu lemah kau tahu.
Fatmawati?
Hadirku belum terlalu berarti untuk bangsa ini.
Ibu?
Ya itu saja cukup, tapi bukan untuk sekarang.
“lalu?” kau tanya padaku.
Panggil saja aku seperti kawanmu,
perlakukan aku seperti kau menghormati ibumu,
mengertilah aku, seperti kau dengan sahabatmu.
Perjuangkan aku sekuat hatimu,
Pertahankan aku sekuat tenagamu.
Tak perlu kau berikan semua waktumu,
tak perlu kau ceritakan semua tentangmu padaku,
biarkan waktu yang memperkenalkanmu padaku,
semua yang kau tawarkan itu, perlu kau tahu aku bisa cari sendiri.
Kau mau menjagaku? Aku tak butuh satpam.
Yang aku butuh adalah seorang  teman,
teman untuk maju bersama,
mengisi hidupku lebih bermanfaat,
teman mengusir rasa bosanku dari kesendirian,
sahabat yang saling mengerti,
dan sebuah rumah untukku kembali saat aku merasa lelah.
Maka jadikanlah dirimu sebagai rumahku.

Minggu, 14 Desember 2014

Nikah Yuk! Siapa sih yang nggak mau?



                Mahasiswa semester akhir biasanya sudah terjangkiti sindrom yang satu ini. Pengen nikah. Ya mungkin memang sudah masanya bagi si mahasiswa senior untuk lebih serius memikirkan masa depan rumah tangga yang akan dibina.
                Semakin tahun, moral remaja Indonesia semakin saja mengundang decakan “ada-ada saja”. Mulai dari kasus video porno, perkosaan, tawuran, perampokan, sodomi, judi, balapan liar, bullying, hingga pembunuhan; beberapa pelakunya adalah remaja. Jadi ya jangan salahkan bunda mengandung, jika pemuda-pemuda hasil generasi zaman yang seperti itu nantinya hanya akan menjadi beban masyarakat atau pengacara, pengangguran banyak acara. Mau menyalahkan pendidikan? Salah bapak ibu guru? Mau bilang salah pergaulan? Salah gue? Salah bapak ibu gue? Kakek nenek gue? Salahnya tuh di mana?
                Semua pasti sependapat, kalau pendidikan yang baik akan melahirkan anak didik yang baik pula. Tapi masalahnya, pendidikan yang baik itu seperti apa sih? Gedung bagus, sarana lengkap, pendidik berkualitas, kurikulum bermutu, dan banyak kegiatan ekstrakurikuler yang positif. Itu kan yang dibayangkan dari pendidikan yang berkualitas? Salah besar. Manusia itu terlahir sebagai makhluk, bukan sebagai robot. Apalah artinya pendidikan yang seperti di sekolah-sekolah itu tanpa adanya kesehatan moral dan keseimbangan agama? Kebutuhan pokok manusia itu bukanlah pangan, sandang, lan papan; akan tetapi interaksi. Tanpa tahu cara berinteraksi yang baik, manusia tiada bedanya dengan hewan. Bagaimana berinteraksi yang baik? Interaksi yang baik berarti aspek-aspek interaksi itu juga harus baik? Artinya pikiran, perkataan, dan perbuatan sebagai akses untuk berinteraksi juga harus baik. Caranya? Ya setiap manusia harus belajar.
                Keluarga adalah kelompok terkecil dalam masyarakat, Agustinus (Titik Nol, 2013) mengatakan keluarga adalah sebagai titik nol. Manusia lahir dari sebuah keluarga, lalu akan kembali pula ke keluarga dimana ia berasal. Artinya di sini, keluarga memegang peranan yang penting dalam proses pembelajaran manusia. Dari keluarga, bayi mulai bisa belajar berjalan. Dari keluarga, manusia bisa mengerti bahwa yang ada di atas piring adalah makanan. Dari keluarga, manusia belajar tentang siapa dirinya, laki-laki atau perempuan? Siapa itu anak dan siapa itu orang tua. Pertanyaannya, masihkah keluarga menjadi garda pendidikan terdepan? Masih pula kah menjadi terdepan untuk generasi Indonesia saat ini? Jawabannya silahkan ditulis dalam hati masing-masing.
Kebanyakan orang tua terkesan lepas tangan, “yang penting bisa cari uang untuk sekolah anak-anak, supaya mereka bisa sekolah setinggi-tingginya.” Itulah yang salah.
                Bicara tentang keluarga dan topik di awal tentang mahasiswa senior, maka kita-kita jugalah yang beberapa tahun ke depan bakal jadi calon orang tua bagi bayi-bayi mungil tak berdosa. Maka mulai dari sekarang pikirkanlah akan jadi orang tua yang seperti apa kita. Akan memilih calon ibu atau bapak yang bagaimana untuk anak-anak kelak agar mereka menjadi insani yang bermanfaat. Akan kita didik jadikan seperti apa anak-anak kita kelak? Lalu apa bekal yang harus disiapkan mulai dari sekarang? Tak hanya materi saja tentunya, namun juga bukan tentang teori saja. Mahasiswa senior harap bersabar, walaupun nikah muda itu diperbolehkan, tapi pertanyaannya apakah siap menjadi orang tua yang berkualitas? Bekal mana yang diandalkan untuk mendidik anak kelak? Jika antum sudah punya calon, permasalahan tidak terhenti pada titik persiapan untuk ijab qabul pernikahan saja, namun yang terpenting adalah apa yang harus dilakukan setelah menikah. Pendidikan yang baik bukan hanya diberikan sejak anak itu terlahir, melainkan meliputi proses bagaimana kita membekali diri dan memilih calon pasangan hidup.

Sabtu, 22 November 2014

Revolusi Iman



Revolusi Iman

Perkataan adalah doa. Memang benar adanya. Entah kapan olok-olokan itu berkembang dan menjadi nama yang lekat menempel pada segerombolan kawan sepermainanku, bernama “Ibu-Ibu Pengajian”. Aku tak tahu kenapa nama itulah yang kalian berikan padaku dan teman-teman.
“Iuuuh..., apa-apaan sih?” Batinku kesal setiap kali mendengar kalian memanggil kami Ibu-Ibu Pengajian.
“Menurut kalian, kami sealim itukah? Kalian salah tau...!” Berontakku pada kalian.
Kami adalah segerombolan mahasiswi yang berkuliah di prodi dengan beban praktikum tiada berujung. Tak pantas kami sebut kami gank, lebih indah jika kau memanggil kami kelompok sepermainan. Kami adalah pelangi, bagian dari kami berwarna-warni. Ada yang ratu akademis, ratu administratif, anak selow, aktivis, idola kakak angkatan, hingga yang biasa-biasa saja pun ada. Memang, dari luar kami terlihat kalem, alim, rajin, dan image positif lain yang ada di dunia ini menempel pada kami. Mungkin itu yang bikin salah satu kompor di kampus nge-justice kami dengan cap Ibu-Ibu Pengajian, padahal saat itu penampilan kami biasa-biasa aja, ndak ada yang alim banget. Semua memang biasa-biasa aja.
Dari julukan itu, setiap kali ada yang memanggilku dengan panggilan Ibu-Ibu Pengajian pun aku memilih diam. Hanya bilang, amin saja. Nggak ada pikiran untuk benar-benar jadi Ibu-Ibu Pengajian dengan segala cap seperti ukhti-ukhti yang bagiku saat itu nggak banget.
Hari-hari berlalu hingga tak terhitung lagi sudah berapa tahun kalian memanggilku bagian dari kelompok Ibu-Ibu Pengajian. Memang pernah ada pikiran untuk menjadi sosok seperti Anna Althafunnissa seperti di novel dan film “Ketika Cinta Bertasbih”, lalu berharap bisa menemukan sosok Mas Azam yang ideal sebagai belahan jiwa dunia dan akhirat. Namun angan itu tinggalah debu yang terhempas oleh angin.
Kalau dipikir-pikir aku memang selalu didekatkan dengan golongan orang-orang yang baik dan nggak neka-neka, bahkan beberapa alim menurutku. Namun bukan berarti aku seseorang yang kalem, alim, dan polos ya. Pergaulanku tak hanya terbatas pada orang-orang dengan tipikal seperti itu, bahkan kadang aku bosan bersama mereka, lalu menganggap dunia mereka bukanlah duniaku. Berkerudung pun baru aku lakukan setelah aku memasuki dunia kuliahku. Dari dulu, aku lebih suka bergaul bersama orang-orang yang bisa dibilang di luar garis batas dari kata alim, orang-orang pelarian dari monoisme sikap terhadap segala peraturan, alias berandal. Anehnya, sedekat-dekatnya aku bersama kelompok berandal ini pasti aku seperti dibawa alur yang mengantarkanku kembali bergaul dengan anak-anak alim, kalem, cerdas, prestatif, dan aktif itu. Aku ketika bersama para berandal selalu menjadi obyek penyelamatan. Kepala sekolahku sampai bilang, “Stella, jangan suka main sama mereka. Eman-eman kamunya!” Loh? Saya baik-baik aja lo Bu. Mereka juga baik-baik kok sama saya. I’m Ok! Dan pola itu terjadi dari SMP hingga sekarang aku kuliah. “Aku butuh keluar dari zona ini, aku pingin jadi bad girl aja. Biar hidup lebih seru, nggak terkesan pasif.” Batinku dalam hati.
AAI? Sebuah program pendampingan belajar pendalaman agama Islam di seluruh kampus pada saat itu, sebelum akhirnya dibubarkan karena dianggap sebagai ajang perekrutan partai politik di kampus. Bagiku AAI dulu adalah sesuatu yang bisa aku katakan nggak banget sih, masya Allah ya aku itu dulu. Berangkat AAI adalah suatu cobaan yang berat bagiku. Entah setan apa yang menempel di diriku, tapi itulah kenyataannya. Dari 100 persen pertemuan, bisa dikatakan aku hanya datang sekitar setengahnya, setengahnya lagi aku malas datang. Entah karena milih mending ngerjain laporan praktikum atau memilih kumpul sama temen buat main bareng. Masya Allah ya. Tapi entah kenapa aku malah memilih untuk meneruskan program AAI-ku ke season 2, padahal berangkat AAI season 1 aja jarang kok ini malah mau lanjut. Entahlah kadang logikaku dengan kecepatanku mengambil keputusan memang kalah CC mesin. Aku memang orang yang sangat spontan.
Tepat setahun lalu lebih beberapa bulan, aku bersama teman-temanku membangun mimpi untuk mengabdi di Tanah Cenderawasih. Perjuangan cari dosen, ke LPPM, lembur proposal, sibuk rekruitmen, dan berpusing-pusing cari dana saat itu adalah agenda rutinku selama 9 bulan. Hingga aku pun mengorbankan beberapa matakuliahku demi menunaikan tangung jawab sebagai tim pengusul KKN di Arborek, Waigeo Meos Mansaar. Tapi, ternyata perjuangan panjangku untuk Arborek harus berhenti di tanggal 20 Maret 2014. Usulanku tetap dinyatakan tidak lolos setelah aku dan teman-temanku lembur mengejar deadline revisi proposal. Minggu itu menjadi kala kelam dalam sejarah hidupku. Apalagi aku adalah otak rekruitmen teman-teman seperjuanganku, kupikir betapa PHP-nya aku. Bisa kau bayangkan bagaimana rasanya bertanggung jawab terhadap teman-teman yang kau rangkul menuju impian bersama, tiba-tiba harus kau suruh mereka pergi untuk mencari kelompok KKN lain. Dan separuh dari mereka adalah orang-orang yang dekat denganmu. Sakitnya tuh di perasaan. Impian ke Tanah Papua pun saat itu sudah ta jadi prioritas utama. KKN bersama orang-orang terdekat sudah tak bisa diharapkan lagi. Hingga akhirnya aku menemukan kelompok KKN yang berencana mengabdi di Papua juga, namun nama lokasinya tak pernah ku dengar, dibaca saja susah. Nekatlah aku daftar wawancara dengan modal cv ala kadarnya dan tingkat kepasrahan maksimal, apalagi setelah aku cermati nggak ada lowongan untuk mahasiswa dengan latar belakang pendidikanku.
Kenekatanku masih berlanjut coy. Masih ingat aku saat itu janjian wawancara jam 3 sore di kampus tetangga. Berangkatlah aku. Jeng...jeng...! Hujan deras mengirim sinyal tackling padaku. Hujan deras, angin kencang, dan banjir di mana-mana. So sejam lebih aku terjebak di depan toko menunggu banjir di utara Selokan Mataram surut. Duh, nggak sampai di situ. Pertama dateng ke lokasi wawancara aku bertemu orang-orang super bawel yang ngobrol pakai gaya dari planet lain. Plis men, aku anak sainstek. Kulturku bukan seperti itu. O ya nama tiga alien itu ada si Moli, Andhira, sama Saukat. Walaupun ada satu mbak-mbak baik yang masih serumpun kultur denganku, Mbak Iim. Wawancaralah aku dengan seribu pertanyaan yang akhirnya dijawab sendiri sama pewawancaranya (Saukat). Singkat cerita, beberapa hari kemudian aku dinyatakan diterima.
Nah dari takdir inilah perjalanan imanku dimulai. Sempet shock saat tahu temen-temen senior kebanyakan adalah ukhti-ukhti dan para ikhwan. Men, aku bukan anak alim :3. Butuh penyesuaian saat tinggal bersama mereka. Mulai dari kebiasaan berpakaian hingga ke ideologi. Bayangkan men, di antara mereka kamu menjadi merasa berdosa untuk memakai celana jens (apalagi celanaku agak ketat), kerudung yang transparan, dan tidak memakai kaos kaki. Pertemuan dengan mereka benar-benar memberikanku pelajaran yang sangat berharga. Ya walaupun awalnya aku masih merasa risih dengan kebiasaan mereka, namun lambat laun aku mulai terhanyut dan menikmatinya. Mulai dari sholat jamaah bersama, tadarus Al-Qur’an, hingga diskusi bersama. Hingga di suatu kala di hari yang aku lupa, aku merasa perlu melakukan revolusi imanku. Karena aku sadar betapa besar anugerah Allah yang telh diberikan padaku. Karena aku sadar atas perjalanan panjang ini, akan sangat rugi jika aku tak mendapatkan hikmah apa pun saat kondisi lingkungan pun mendukung untuk melakukan suatu perubahan positif dalam hidupku. Maka saat aku hendak pulang ke Jawa, ku tinggalkanlah semua pakaian jahiliyahku di Papua (maaf ya Pak Nico nyampah). Ku niatkan serius belajar bersama teman-teman AAIku, belajar di kajian bersamapara ukhti, belajar mengaji yang benar bersama kelompok qira’ati, membiasakan membaca Al-Qur’an setiap hari, sholat berjamaah, mengambil mata kuliah studi agam kotekstual, memperbanyak diskusi keagamaan, memperbaiki penampilanku dalam berpakaian yang lebih syar’i. Dan yang kudapatkan sekarang adalah ketenangan.
Terima kasih Ya Allah inikah yang kau sebut sebagai hidayah, inikah yang kau janjikan dari Lailatul Qadr? Sebuah ketenangan jiwa. Terima kasih ukhti-ukhti yang menjadi inspirasi bagiku. Terima kasih untuk seseorang yang spesial dalam catatan hatiku, awalnya kamulah penyebab perubahan ini. Dan aku tahu itu salah, karena perubahan ini harusnya karena Allah bukan karena sebab. Tapi kini aku menempatkanmu sebagai salah satu inspirasi terhebat di perjalanan revolusi ini. Terima kasih kawanku yang sudah memberikan julukan Ibu-Ibu Pengajian. Kini aku sedang dalam perjalanan berproses menjadi sosok Anna Althafunnissa. Dan mungkin ini adalah jawaban kenapa aku selalu dipertemukan bersama orang-orang yang baik sebelumnya, dan selalu dijauhkan dari orang-orang yang kurang baik menurut Allah. Teruntuk teman-teman Ibu-Ibu Pengajian, terima kasih kalian selalu menemaniku di tiga tahun terakhir ini. Yuk berkembang bersama.
Inilah kisahku, inilah jawabanku atas pertanyaan kalian mengapa aku sangat berubah sepulang KKN 2 bulan lalu. Ya aku memang berubah, berubah mencari yang harus kuperbaiki. Namun kasihku pada kalian tak akan pernah berubah di makan lekangnya “kala”. Untuk teman-teman Pengejar Matahari Supiori, kalian adalah cara Allah yang indah untuk membawaku ke titik ini. Jadi inilah sebabnya kalian spesial. Bukan karena aku tak punya kawan, tentu tidak. Tapi kalian adalah insprator hebat dalam perjalanan revolusiku.

My Biggest Magnitude



Dikau

Dan seperti mimpi saat kau hadir tanpa aku duga
Seperti halusinasi sehingga membuatku terperanga
Sampai detik ini aku tetap tak menyangka
Kala itu hadir tiba-tiba tanpa ada pertanda
Walau telah lama ku pinta

Namanya yang selalu ada dalam penantian
Bayangannya yang selalu menyelinap sebagai tersangka
Menjadi daftar orang yang paling buron dalam logika yang tak berujung

Dikau, iya dikau....
Seorang pria tak ku kenal sebelumnya
Seorang kawan yang dipertemukan dalam suatu keajaiban
Pribadi yang abstrak ku mendefinisikanmu
Hingga mereka pun memandangmu sebelah mata

Dikau, iya dikau....
Aku tak habis pikir mengapa bisa kita bertemu
Padahal garis takdir telah mengisahkan kau harusnya berpisah denganku
Namun kau malah hadir, lalu mengubahku menjadi pribadi yang baru
Terima kasih, aku beruntung mengenalmu, ku harap aku bisa terus membersamaimu.

Rabu, 22 Januari 2014

Cerita Pendek Indonesia Edisi Spesial

A Deep Heart


Hembusan angin dan guguran daun waktu itu seperti menghembuskan sebagian isi hatiku. Gerimis hujan menyelinap membasahi pipi yang telah basah oleh hati yang sendu. Pikiranku tak sejalan lagi dengan isi hati yang kupendam, sementara jantung ini tak mau mendengarkan jiwa ini lagi.
Empat belas November dua ribu dua belas, akalku sedang mencari jalan keluar dari pertanyaan yang membelenggu selama ini. Apakah dia atau dia yang selama ini menggetarkan kalbu ini. Dua pria dengan karakter yang berbeda kini benar-benar membuat kupu-kupu yang melayang di hatiku terbang tak terarah sampai-sampai ia ingin pergi tenggelam bersama cucuran air mata hati ini.
Aku genggam selembar kertas berisi surat dari seseorang yang sebelumnya tidak aku ketahui siapa empunya. Surat ini adalah surat yang berharga untukku. Setiap hari Jumat pagi aku selalu menemukan surat yang seperti ini ditumpukkan isi lokerku yang sesak oleh buku-buku kuliah. Setiap kali aku membaca surat ini aku selalu kembali bersemangat untuk menghadapi kerasnya hidup. Kata-kata yang tertulis di dalam surat-surat ini selalu ada senyum dan sapa yang hangat dari seseorang, dan selalu ada kata-kata indah yang memberiku motivasi untuk tersenyum menjalani hari-hariku. Ya, kata-kata dalam surat ini memang seperti magis yang bisa menghipnotisku dan membawaku ke dalam dunia kebahagiaan.


Hari ini kudapatkan dua lembar surat di dalam lokerku. Aneh sekali surat yang kudapatkan biasanya selalu rapi dan terlipat indah, namun kali ini tidak. Surat yang kudapat kali ini kucal dan agak basah. Aku tak mau menebak-nebak kenapa surat kali ini berbeda, saat ini aku sedang terburu-buru untuk mengikuti ujian, kemudian dengan tergesa-gesa aku mengambil surat itu dan aku letakkan di dalan tas kuliahku.
Suasana pagi ini begitu sepi, hanya ada beberapa mahasiswa yang duduk tenang di dalam kelas. Ujian kali ini nampaknya agak berbeda bagiku karena ini adalah pertama kalinya aku menempuh ujian di luar negeri. Sudah beberapa bulan sejak kepindahanku ke Jepang akhirnya aku bisa menguji kemampuanku melaui ujian ini.
Jarum jam sedari tadi berdetak mengikuti irama tiga buah penari kecil berujung lancip kini telah mengarahkan sudutnya ke angka pukul sepuluh kurang lima menit. Seorang bapak tua dengan mata yang sipit memasuki ruangan ujian. Memang, adat di negeri orang berbeda degan adat di negeri sendiri. Biasanya jika di Indonesia, beberapa menit sebelum ujian mahasiswa lebih suka berdiskusi belajar bersama hingga waktu ujian tiba, kemudian mahasiswa barulah masuk ke dalam ruang pertempuran hidup dan mati selama satu semester. Pengalaman yang aku rasakan di negeri ini sangat berbeda, mahasiswa di sini lebih suka berdiskusi jauh-jauh hari sebelum ujian dilaksanakan dan di hari-H ujian mereka lebih suka diam sambil membaca buku atau mendengarkan musik. Sementara itu biasanya dosen akan memasuki ruangan beberapa menit sebelum ujian dimulai, oleh karena itu tidak ada kata terlambat bagi mahasiswa yang menempuh ujian karena di sini terlambat sama dengan malu.
“Good Morning.” Sapa seorang bapak tua yang duduk di depan kelas.
“Morning.”Serentak seisi kelas menyambut hangat sapaan bapak tua tadi.
Teman-teman sekelasku tampak langsung menutup semua buku yang mereka baca dan mengeluarkan sebuah pena. Sementara itu, bapak tua tadi langsung membagikan selembar kertas yang bertuliskan beberapa pertanyaan dengan ujung kertas yang melambai-lambai seperti mengajakku untuk cepat menuliskan gores jawabanku di kertas itu.
Suasana kelas sangat hening sekali, masing-masing orang tengah sibuk berkutat pada lembar-lembar kertas yang sedari tadi menggoda jemari untuk menggoreskan imaginer masing-masing. Aku pun tenggelam dalam dunia imajinasi yang berpangkal di otakku ini sembari memikirkan teori-teori baru yang aku dapatkan selama kuliah di Jepang.
Pukul telah menunjukkan jam sebelas lewat lima menit sekarang, separuh dari teman-temanku telah selesai mengerjakan soal-soal ujian ini. Aku juga tengah menyelesaikan soal terakhir dari dosenku, namun di saat aku menulis dadaku tiba-tiba terasa sesak dan jantungku berdebar tak karuan. Belum pernah kurasakan debaran jantung yang seperti ini, aku lalu memegang dadaku sambil merasakan debaran yang begitu kencang. Tiba-tiba Pak Dosen memanggilku dan menayakan apakah ada yang terjadi kepadaku, lalu aku menjawab tidak apa-apa sambil melanjutkan pekerjaanku.




Aneh sekali jantungku dapat berdetak kencang seperti ada bom saja di dalamnya, padahal aku tidak merasa gugup sama sekali saat mengerjakan soal ujian tadi.
“Mengapa aku bisa deg-degan kayak gitu ya tadi?”Batinku dalam hati.
Di sebuah lorong panjang aku berdiri menatap langit melalui sebuah jendela geser di sepanjang tembok. Betapa biru langit pagi ini dengan sedikit goresan awan putih di angkasa. Angin berhembus meniupkan guguran daun yang menyelimuti halaman kampusku pagi ini, sementara itu kumpulan bunga-bunga sakura tampak mulai bermekaran menghiasi sepanjang jalanan di sekeliling kampusku.
Aku hampir saja lupa membaca surat yang kudapat pagi ini. Aku merogoh kantong tasku, mencari selembar kertas kucal. Surat pagi ini bercerita padaku tentang indahnya bunga sakura yang diam-diam mulai bermekaran di seluruh kota. Bunga-bunga sakura yang bermekaran pagi ini seperti memberikan serbuk-serbuk magis yang membuat setiap orang tersenyum gembira. Bunga sakura yang kubaca dari surat ini adalah bingkisan permen dari Tuhan bagi siapa saja yang mampu menjaga asanya tetap hangat di winter yang dingin. Aku pun tersenyum lebar setelah membaca surat ini.
Aku terus menatap keluar jendela sambil sesekali menoleh ke bawah melihat aktivitas teman-teman baruku di Jepang. Sebagian dari mereka ada yang duduk di bangku taman sambil mendengarkan musik dan membaca buku, adapula yang bercanda bersama kumpulan mahasiswa lain. Aku terus berdiri sambil menggenggam surat yang aku dapatkan pagi ini, namun tanpa aku sadari selongsong angin datang mencuri kertasku hingga jatuh ke luar jendela. Aku langsung berlari menuju tangga untuk turun ke bawah dan mengambil surat istimewaku yang jatuh tertiup angin.
Sesampainya di bawah aku mencari di sekeliling taman untuk menemukan surat itu, namun tak satupun jejak aku temukan. Selembar kertas itu hilang seperti lenyap di telan bumi. Aku kemudian mencari di balik semak-semak, berharap surat itu jatuh dan tersangkut di sana. Akan tetapi hasilnya sama saja, aku tidak bisa menemukan surat itu.
Tiba-tiba ku dengar langkah kaki yang berhenti tepat di belakangku, au menoleh dan ku teukan seorang perempuan tersenyum menatapku. Aku pun membalas senyumannya sambil mengangguk dan mencari kembali suratku yang hilang, namun sesaat sebelum aku melangkah dari tempat itu, perempuan itu memanggilku.
“Hai kamu, apa kamu kehilangan sesuatu?” Tanya perempuan itu kepadaku.
“Ya, suratku terjatuh dari atas sana dan aku sedang mencarinya. Ehm... Kamu mahasiswa dar Indonesia?” Tanyaku heran mengapa perempuan di depanku bertanya padaku dengan memakai Bahasa Indonesia.
“Iya, kenalkan aku Zahra dari Kalimantan. Salam kenal.” Jawabnya sambil membungkukkan badan sesuai adab orang Jepang.
 “Annisa dari Jakarta.” Jawabku sambil membungkukkan badan juga.
“Annisa, mungkin surat ini punyamu.” Kata Zahra sambil menyodorkan secarik kertas kepadaku.
 Aku kemudian membaca tulisan pada kertas yang diberikan oleh Zahra, ternyata benar ini memang suratku.
“Terima kasih banyak ya Zahra.” Jawabku penuh senyum.
“Sama-sama. Oh ya, maaf tadi aku sempat mebaca isi suratmu. Tulisan di dalamnya sungguh luar biasa. Tulisan itu apa kamu yang menulisnya?”
“Oh... enggak apa-apa Zahra. Ini bukan tulisanku, tetapi tulisan seseorang yang selalu dikirimkan kepadaku.” Aku menjawab sambil tersenyum menatap Zahra
Begitulah pertemuanku dengan Zahra dimulai. Sejak itu kami menjadi sangat dekat, walaupun Zahra lebih tua setahun dariku.



 Sejak hari aku bertemu Zahra, aku semakin sering menjelajahi kota Tokyo. Zahra sering kali mengajakku untuk berkeliling menjelajahi tempat-tempat unik di kota ini. Aku senang-senang saja saat harus menemani Zahra mengulik sudut dari setiap tepat yang kami kunjungi setiap akhir pekan. Zahra memang sangat menyukai dunia fotografi, dan aku tentu saja sangat menyukai dunia petualangan. Setiap gang-gang kecil di kota ini biasanya akan kami susuri hanya  untuk menemukan sebuah toko permen tua.
Hari ini aku dan Zahra menyempatkan diri untuk pergi ke danau dekat Taman Kota. Seperti biasa, Zahra selalu asyik dengan sejuta mata kameranya sambil sesekali mencuri-curi fotoku saat memandangi indahnya air danau yang jingga terkena pantulan sinar senja. Aku lebih memilih berjalan-jalan menyusuri danau dan melihat-lihat bunga sakura yang malu-malu mulai bermekaran di antara ranting-ranting pohon yang berliuk. Sungguh ini adalah pemandangan terindah yang pernah aku lihat sejak aku tiba di Jepang.
Aku kemudian duduk di sebuah kursi panjang di tepian danau, sambil mengamati sepasang angsa yang saling menatap satu sama lain. Aku tersenyum kecil sambil berpikir sungguh Maha Agung Tuhan yang telah menciptakan setiap makhluk di dunia ini berpasang-pasangan.
“Duuuk...”Suara bola memantul dari kepalaku.
“Aow...” Suaraku mengaduh.
Tiba-tiba saja ada benda yang memantul di kepalaku. Kepalaku langsung terasa pusing, dan setelah ku tengok itu adalah bola basket. Batinku siapa orang yang sudah tidak sopan melemparku dengan bola basket sebesar ini.
“Sorry...”Ku dengar seorang laki-laki mengucapkan kata maaf sambil terengah-engah.
“Ha?” Jawabku masih terheran-heran.
Lelaki itu nampak tidak asing bagiku, namun aku masih belum dapat menebak siapa laki-laki yang berdiri di hadapanku ini. Penampilan lelaki ini tampak konyol, ia memakai bandana dengan hiasan mata lebah di atasnya. Senyum kecilku pun sulit aku tahan.
“Sorry for this ball.” Katanya sambil membungkukkan badan
“Never mind.”Aku berkata sambil membalas membungkukkan badan. "Ahh..., orang Indonesia." Batinku.
Tiba-tiba kudengar suara anak kecil memanggil lelaki di hadapanku, anak kecil itu kemudian menghampiri lelaki di hadapanku ini.
“Kakaaak...Kakaak !”Teriak seorang anak kecil.
“Jangan lari, nanti jatuh!”Sahut lelaki yang berdiri di hadapanku.
Lelaki dan anak perempuan itu kemudian berpamitan kepadaku dan sekali lagi meminta maaf atas bola yang menimpa kepalaku tadi. Tiba-tiba aku mendengar suara Zahra memanggil nama seseorang yang kutebak adalah nama dari lelaki ini.
“Mas Ilham, hai!” Sapa Zahra.
“Lho, Zahra kamu ngapain di sini? Bukannya kamu tadi pamit untuk ketemu seseorang?” Tanya lelaki itu.
“Ehm... itu, aku janjian ketemu orang itu di sini Mas, lho Mas ngapain di sini?”Zahra menjawab degan akrab.
Aku semakin menyerngitkan dahi, menebak-nebak siapa sebenarnya laki-laki yag berdiri di hadapanku ini. Mengapa Zahra nampak begitu akrab dengan orang yang bernama Ilham ini, lalu mengapa Zahra tidak bercerita bahwa dia memiliki janji bertemu seseorang di sini?
“Oh, ini aku sedang jalan-jalan dengan Faniza dan Fatir. Tadi bola yang dilempar Fatir mengenai mbak ini Ra.” Jawab Ilham memecah keheningan.
“Ya ampun masih jahil aja si Fatir. Oh ya Mas Ilham, kenalkan ini Annisa.”
“Annisa, kenalkan ini mas Ilham.” Ucap Zahra sambil mengenalkanku pada lelaki yang baru saja meminta maaf kepaku itu.
“Halo, senang bertemu . Maaf ya, tadi bolanya kena kepalamu. Apa ada yang sakit?” Tanya Mas Ilham kepadaku.
“Enggak Mas, Cuma sedikit pusing aja kok. Kenalkan juga Mas, aku Annisa.”Jawabku sambil menjabat tangan Mas IIham.
Ada perasaan aneh ketika aku menjabat tangan Mas Ilham dan melihat tatapan matanya. Jantungku tiba-tiba berdetak kencang seperti orang yang habis berlari. Debaran jantung ini seperti yang aku rasakan ketika aku mengerjakan soal ujian pertamaku tempo hari.
“Zahra, Annisa, aku pamit dulu ya. Kasihan Fatir kutinggal di sana.”
“Ayo Niza, pamitan sama kakak-kakak.” Ucap Mas Ilham
“Dadah kakak Ra, kakak nica. Aku pamit dulu ya, dadah!”Lambaian tangan Faniza meninggalkan senyum kecil di hati kami berdua.
“Ra, kudengar tadi kamu punya janji ya ketemu seseorang di sini?”Tanyaku ingin tahu.
“He em. Aku lupa ngasih tahu kamu ya Nis? Iya, sebentar lagi aku ingin ketemu kenalan lamaku, kamu ikut ya Nis!” Rayu Zahra kepadaku.
“Sekarang sudah sore banget Ra, aku ada janji makan malam dengan keluarga Pamanku. Aku enggak boleh telat malam ini, kamu sendiri aja ya. Enggak apa-apa kan?”Bujukku kepada Zahra.
“Oklah kalau begitu. Salam ya buat Tante Lina.” Zahra menjawab sambil tersenyum.
Aku pun langsung bergegas pergi dari tempat yang sudah membuat kepalaku pusing karena terkena lemparan bola itu sambil melambaikan tangan ke sahabatku Zahra.



 Halte bus di daerah sini sungguh sepi penumpang, hanya ada beberapa penumpang lanjut usia yang turun di halte ini untuk menuju ke klinik pengobatan dekat sini. Sementara itu hari mulai gelap, aku masih saja menunggu bus untuk pulang ke rumah.
Akhirnya bus yang akan aku tumpangi datang, penumpang yang ada di dalamnya pun sangat sedikit.
“Jegleekk...Ngiiik.”Suara pintu bus terbuka.
Aku pun naik ke bus itu dan mengeluarkan beberapa uang koin untuk menumpang di dalamnya. Begitu aku duduk di kursi samping jendela, sepintas aku melihat sosok yang tidak asing bagiku. Perawakannya tinggi, putih, dan matanya berwarna coklat tua. Pria itu duduk di halte setelah aku naik ke dalam bus. Orang itu memakai topi dan memegang sebuah kamera.
Aku tiba-tiba langsung teringat kepada sosok yang pernah dekat bersamaku saat aku masih kuliah di Jakarta. Sosok yang selalu mengisi hari-hariku dengan kebahagiaan, namun akhirnya memberiku sesedihan yang mendalam. Apakah orang itu adalah Fadhli? Ah, mungkin saja itu hanya perasaanku saja. Bus yang aku tumpangi pun melaju semakin jauh meninggalkan sosok pria di halte itu.