Rabu, 22 Januari 2014

Cerita Pendek Indonesia Edisi Spesial

A Deep Heart


Hembusan angin dan guguran daun waktu itu seperti menghembuskan sebagian isi hatiku. Gerimis hujan menyelinap membasahi pipi yang telah basah oleh hati yang sendu. Pikiranku tak sejalan lagi dengan isi hati yang kupendam, sementara jantung ini tak mau mendengarkan jiwa ini lagi.
Empat belas November dua ribu dua belas, akalku sedang mencari jalan keluar dari pertanyaan yang membelenggu selama ini. Apakah dia atau dia yang selama ini menggetarkan kalbu ini. Dua pria dengan karakter yang berbeda kini benar-benar membuat kupu-kupu yang melayang di hatiku terbang tak terarah sampai-sampai ia ingin pergi tenggelam bersama cucuran air mata hati ini.
Aku genggam selembar kertas berisi surat dari seseorang yang sebelumnya tidak aku ketahui siapa empunya. Surat ini adalah surat yang berharga untukku. Setiap hari Jumat pagi aku selalu menemukan surat yang seperti ini ditumpukkan isi lokerku yang sesak oleh buku-buku kuliah. Setiap kali aku membaca surat ini aku selalu kembali bersemangat untuk menghadapi kerasnya hidup. Kata-kata yang tertulis di dalam surat-surat ini selalu ada senyum dan sapa yang hangat dari seseorang, dan selalu ada kata-kata indah yang memberiku motivasi untuk tersenyum menjalani hari-hariku. Ya, kata-kata dalam surat ini memang seperti magis yang bisa menghipnotisku dan membawaku ke dalam dunia kebahagiaan.


Hari ini kudapatkan dua lembar surat di dalam lokerku. Aneh sekali surat yang kudapatkan biasanya selalu rapi dan terlipat indah, namun kali ini tidak. Surat yang kudapat kali ini kucal dan agak basah. Aku tak mau menebak-nebak kenapa surat kali ini berbeda, saat ini aku sedang terburu-buru untuk mengikuti ujian, kemudian dengan tergesa-gesa aku mengambil surat itu dan aku letakkan di dalan tas kuliahku.
Suasana pagi ini begitu sepi, hanya ada beberapa mahasiswa yang duduk tenang di dalam kelas. Ujian kali ini nampaknya agak berbeda bagiku karena ini adalah pertama kalinya aku menempuh ujian di luar negeri. Sudah beberapa bulan sejak kepindahanku ke Jepang akhirnya aku bisa menguji kemampuanku melaui ujian ini.
Jarum jam sedari tadi berdetak mengikuti irama tiga buah penari kecil berujung lancip kini telah mengarahkan sudutnya ke angka pukul sepuluh kurang lima menit. Seorang bapak tua dengan mata yang sipit memasuki ruangan ujian. Memang, adat di negeri orang berbeda degan adat di negeri sendiri. Biasanya jika di Indonesia, beberapa menit sebelum ujian mahasiswa lebih suka berdiskusi belajar bersama hingga waktu ujian tiba, kemudian mahasiswa barulah masuk ke dalam ruang pertempuran hidup dan mati selama satu semester. Pengalaman yang aku rasakan di negeri ini sangat berbeda, mahasiswa di sini lebih suka berdiskusi jauh-jauh hari sebelum ujian dilaksanakan dan di hari-H ujian mereka lebih suka diam sambil membaca buku atau mendengarkan musik. Sementara itu biasanya dosen akan memasuki ruangan beberapa menit sebelum ujian dimulai, oleh karena itu tidak ada kata terlambat bagi mahasiswa yang menempuh ujian karena di sini terlambat sama dengan malu.
“Good Morning.” Sapa seorang bapak tua yang duduk di depan kelas.
“Morning.”Serentak seisi kelas menyambut hangat sapaan bapak tua tadi.
Teman-teman sekelasku tampak langsung menutup semua buku yang mereka baca dan mengeluarkan sebuah pena. Sementara itu, bapak tua tadi langsung membagikan selembar kertas yang bertuliskan beberapa pertanyaan dengan ujung kertas yang melambai-lambai seperti mengajakku untuk cepat menuliskan gores jawabanku di kertas itu.
Suasana kelas sangat hening sekali, masing-masing orang tengah sibuk berkutat pada lembar-lembar kertas yang sedari tadi menggoda jemari untuk menggoreskan imaginer masing-masing. Aku pun tenggelam dalam dunia imajinasi yang berpangkal di otakku ini sembari memikirkan teori-teori baru yang aku dapatkan selama kuliah di Jepang.
Pukul telah menunjukkan jam sebelas lewat lima menit sekarang, separuh dari teman-temanku telah selesai mengerjakan soal-soal ujian ini. Aku juga tengah menyelesaikan soal terakhir dari dosenku, namun di saat aku menulis dadaku tiba-tiba terasa sesak dan jantungku berdebar tak karuan. Belum pernah kurasakan debaran jantung yang seperti ini, aku lalu memegang dadaku sambil merasakan debaran yang begitu kencang. Tiba-tiba Pak Dosen memanggilku dan menayakan apakah ada yang terjadi kepadaku, lalu aku menjawab tidak apa-apa sambil melanjutkan pekerjaanku.




Aneh sekali jantungku dapat berdetak kencang seperti ada bom saja di dalamnya, padahal aku tidak merasa gugup sama sekali saat mengerjakan soal ujian tadi.
“Mengapa aku bisa deg-degan kayak gitu ya tadi?”Batinku dalam hati.
Di sebuah lorong panjang aku berdiri menatap langit melalui sebuah jendela geser di sepanjang tembok. Betapa biru langit pagi ini dengan sedikit goresan awan putih di angkasa. Angin berhembus meniupkan guguran daun yang menyelimuti halaman kampusku pagi ini, sementara itu kumpulan bunga-bunga sakura tampak mulai bermekaran menghiasi sepanjang jalanan di sekeliling kampusku.
Aku hampir saja lupa membaca surat yang kudapat pagi ini. Aku merogoh kantong tasku, mencari selembar kertas kucal. Surat pagi ini bercerita padaku tentang indahnya bunga sakura yang diam-diam mulai bermekaran di seluruh kota. Bunga-bunga sakura yang bermekaran pagi ini seperti memberikan serbuk-serbuk magis yang membuat setiap orang tersenyum gembira. Bunga sakura yang kubaca dari surat ini adalah bingkisan permen dari Tuhan bagi siapa saja yang mampu menjaga asanya tetap hangat di winter yang dingin. Aku pun tersenyum lebar setelah membaca surat ini.
Aku terus menatap keluar jendela sambil sesekali menoleh ke bawah melihat aktivitas teman-teman baruku di Jepang. Sebagian dari mereka ada yang duduk di bangku taman sambil mendengarkan musik dan membaca buku, adapula yang bercanda bersama kumpulan mahasiswa lain. Aku terus berdiri sambil menggenggam surat yang aku dapatkan pagi ini, namun tanpa aku sadari selongsong angin datang mencuri kertasku hingga jatuh ke luar jendela. Aku langsung berlari menuju tangga untuk turun ke bawah dan mengambil surat istimewaku yang jatuh tertiup angin.
Sesampainya di bawah aku mencari di sekeliling taman untuk menemukan surat itu, namun tak satupun jejak aku temukan. Selembar kertas itu hilang seperti lenyap di telan bumi. Aku kemudian mencari di balik semak-semak, berharap surat itu jatuh dan tersangkut di sana. Akan tetapi hasilnya sama saja, aku tidak bisa menemukan surat itu.
Tiba-tiba ku dengar langkah kaki yang berhenti tepat di belakangku, au menoleh dan ku teukan seorang perempuan tersenyum menatapku. Aku pun membalas senyumannya sambil mengangguk dan mencari kembali suratku yang hilang, namun sesaat sebelum aku melangkah dari tempat itu, perempuan itu memanggilku.
“Hai kamu, apa kamu kehilangan sesuatu?” Tanya perempuan itu kepadaku.
“Ya, suratku terjatuh dari atas sana dan aku sedang mencarinya. Ehm... Kamu mahasiswa dar Indonesia?” Tanyaku heran mengapa perempuan di depanku bertanya padaku dengan memakai Bahasa Indonesia.
“Iya, kenalkan aku Zahra dari Kalimantan. Salam kenal.” Jawabnya sambil membungkukkan badan sesuai adab orang Jepang.
 “Annisa dari Jakarta.” Jawabku sambil membungkukkan badan juga.
“Annisa, mungkin surat ini punyamu.” Kata Zahra sambil menyodorkan secarik kertas kepadaku.
 Aku kemudian membaca tulisan pada kertas yang diberikan oleh Zahra, ternyata benar ini memang suratku.
“Terima kasih banyak ya Zahra.” Jawabku penuh senyum.
“Sama-sama. Oh ya, maaf tadi aku sempat mebaca isi suratmu. Tulisan di dalamnya sungguh luar biasa. Tulisan itu apa kamu yang menulisnya?”
“Oh... enggak apa-apa Zahra. Ini bukan tulisanku, tetapi tulisan seseorang yang selalu dikirimkan kepadaku.” Aku menjawab sambil tersenyum menatap Zahra
Begitulah pertemuanku dengan Zahra dimulai. Sejak itu kami menjadi sangat dekat, walaupun Zahra lebih tua setahun dariku.



 Sejak hari aku bertemu Zahra, aku semakin sering menjelajahi kota Tokyo. Zahra sering kali mengajakku untuk berkeliling menjelajahi tempat-tempat unik di kota ini. Aku senang-senang saja saat harus menemani Zahra mengulik sudut dari setiap tepat yang kami kunjungi setiap akhir pekan. Zahra memang sangat menyukai dunia fotografi, dan aku tentu saja sangat menyukai dunia petualangan. Setiap gang-gang kecil di kota ini biasanya akan kami susuri hanya  untuk menemukan sebuah toko permen tua.
Hari ini aku dan Zahra menyempatkan diri untuk pergi ke danau dekat Taman Kota. Seperti biasa, Zahra selalu asyik dengan sejuta mata kameranya sambil sesekali mencuri-curi fotoku saat memandangi indahnya air danau yang jingga terkena pantulan sinar senja. Aku lebih memilih berjalan-jalan menyusuri danau dan melihat-lihat bunga sakura yang malu-malu mulai bermekaran di antara ranting-ranting pohon yang berliuk. Sungguh ini adalah pemandangan terindah yang pernah aku lihat sejak aku tiba di Jepang.
Aku kemudian duduk di sebuah kursi panjang di tepian danau, sambil mengamati sepasang angsa yang saling menatap satu sama lain. Aku tersenyum kecil sambil berpikir sungguh Maha Agung Tuhan yang telah menciptakan setiap makhluk di dunia ini berpasang-pasangan.
“Duuuk...”Suara bola memantul dari kepalaku.
“Aow...” Suaraku mengaduh.
Tiba-tiba saja ada benda yang memantul di kepalaku. Kepalaku langsung terasa pusing, dan setelah ku tengok itu adalah bola basket. Batinku siapa orang yang sudah tidak sopan melemparku dengan bola basket sebesar ini.
“Sorry...”Ku dengar seorang laki-laki mengucapkan kata maaf sambil terengah-engah.
“Ha?” Jawabku masih terheran-heran.
Lelaki itu nampak tidak asing bagiku, namun aku masih belum dapat menebak siapa laki-laki yang berdiri di hadapanku ini. Penampilan lelaki ini tampak konyol, ia memakai bandana dengan hiasan mata lebah di atasnya. Senyum kecilku pun sulit aku tahan.
“Sorry for this ball.” Katanya sambil membungkukkan badan
“Never mind.”Aku berkata sambil membalas membungkukkan badan. "Ahh..., orang Indonesia." Batinku.
Tiba-tiba kudengar suara anak kecil memanggil lelaki di hadapanku, anak kecil itu kemudian menghampiri lelaki di hadapanku ini.
“Kakaaak...Kakaak !”Teriak seorang anak kecil.
“Jangan lari, nanti jatuh!”Sahut lelaki yang berdiri di hadapanku.
Lelaki dan anak perempuan itu kemudian berpamitan kepadaku dan sekali lagi meminta maaf atas bola yang menimpa kepalaku tadi. Tiba-tiba aku mendengar suara Zahra memanggil nama seseorang yang kutebak adalah nama dari lelaki ini.
“Mas Ilham, hai!” Sapa Zahra.
“Lho, Zahra kamu ngapain di sini? Bukannya kamu tadi pamit untuk ketemu seseorang?” Tanya lelaki itu.
“Ehm... itu, aku janjian ketemu orang itu di sini Mas, lho Mas ngapain di sini?”Zahra menjawab degan akrab.
Aku semakin menyerngitkan dahi, menebak-nebak siapa sebenarnya laki-laki yag berdiri di hadapanku ini. Mengapa Zahra nampak begitu akrab dengan orang yang bernama Ilham ini, lalu mengapa Zahra tidak bercerita bahwa dia memiliki janji bertemu seseorang di sini?
“Oh, ini aku sedang jalan-jalan dengan Faniza dan Fatir. Tadi bola yang dilempar Fatir mengenai mbak ini Ra.” Jawab Ilham memecah keheningan.
“Ya ampun masih jahil aja si Fatir. Oh ya Mas Ilham, kenalkan ini Annisa.”
“Annisa, kenalkan ini mas Ilham.” Ucap Zahra sambil mengenalkanku pada lelaki yang baru saja meminta maaf kepaku itu.
“Halo, senang bertemu . Maaf ya, tadi bolanya kena kepalamu. Apa ada yang sakit?” Tanya Mas Ilham kepadaku.
“Enggak Mas, Cuma sedikit pusing aja kok. Kenalkan juga Mas, aku Annisa.”Jawabku sambil menjabat tangan Mas IIham.
Ada perasaan aneh ketika aku menjabat tangan Mas Ilham dan melihat tatapan matanya. Jantungku tiba-tiba berdetak kencang seperti orang yang habis berlari. Debaran jantung ini seperti yang aku rasakan ketika aku mengerjakan soal ujian pertamaku tempo hari.
“Zahra, Annisa, aku pamit dulu ya. Kasihan Fatir kutinggal di sana.”
“Ayo Niza, pamitan sama kakak-kakak.” Ucap Mas Ilham
“Dadah kakak Ra, kakak nica. Aku pamit dulu ya, dadah!”Lambaian tangan Faniza meninggalkan senyum kecil di hati kami berdua.
“Ra, kudengar tadi kamu punya janji ya ketemu seseorang di sini?”Tanyaku ingin tahu.
“He em. Aku lupa ngasih tahu kamu ya Nis? Iya, sebentar lagi aku ingin ketemu kenalan lamaku, kamu ikut ya Nis!” Rayu Zahra kepadaku.
“Sekarang sudah sore banget Ra, aku ada janji makan malam dengan keluarga Pamanku. Aku enggak boleh telat malam ini, kamu sendiri aja ya. Enggak apa-apa kan?”Bujukku kepada Zahra.
“Oklah kalau begitu. Salam ya buat Tante Lina.” Zahra menjawab sambil tersenyum.
Aku pun langsung bergegas pergi dari tempat yang sudah membuat kepalaku pusing karena terkena lemparan bola itu sambil melambaikan tangan ke sahabatku Zahra.



 Halte bus di daerah sini sungguh sepi penumpang, hanya ada beberapa penumpang lanjut usia yang turun di halte ini untuk menuju ke klinik pengobatan dekat sini. Sementara itu hari mulai gelap, aku masih saja menunggu bus untuk pulang ke rumah.
Akhirnya bus yang akan aku tumpangi datang, penumpang yang ada di dalamnya pun sangat sedikit.
“Jegleekk...Ngiiik.”Suara pintu bus terbuka.
Aku pun naik ke bus itu dan mengeluarkan beberapa uang koin untuk menumpang di dalamnya. Begitu aku duduk di kursi samping jendela, sepintas aku melihat sosok yang tidak asing bagiku. Perawakannya tinggi, putih, dan matanya berwarna coklat tua. Pria itu duduk di halte setelah aku naik ke dalam bus. Orang itu memakai topi dan memegang sebuah kamera.
Aku tiba-tiba langsung teringat kepada sosok yang pernah dekat bersamaku saat aku masih kuliah di Jakarta. Sosok yang selalu mengisi hari-hariku dengan kebahagiaan, namun akhirnya memberiku sesedihan yang mendalam. Apakah orang itu adalah Fadhli? Ah, mungkin saja itu hanya perasaanku saja. Bus yang aku tumpangi pun melaju semakin jauh meninggalkan sosok pria di halte itu.


1 komentar: