Rabu, 22 Januari 2014

Cerita Pendek Indonesia 4

C-Syndrome


   “Uwiingg...uwiingg...uwiingg!” Suara sirine ambulan menderau meraung-raung
   “Gledek..gledek..gledek!” Sebuah tempat tidur berjalan meluncur dari ambulan diiringi empat orang suster.
    Seorang pasien melesat cepat ke sebuah ruangan dengan peralatan medis yang tersusun rapi di setiap sudut ruang. Peralatan itu tersambung dengan banyak kabel yang menjuntai dan berwarna-warni. Sesaat setelah pasien itu datang ke kamar, pakaiannya langsung dilepaskan oleh keempat suster yang mengawalnya sedari tadi. Persis, bak gula dikerumuni semut. Andai ia dalam keaadaan sadar, tentunya ini akan menjadi kenangan terindah dalam hidupnya. Sayangnya, sudah satu jam lebih dirinya mendadak kehilangan ritme bernapas.
    Pintu ruangan ditutup, lampu merah di atas pintu menyala terang menandakan ada pertolongan darurat di dalam ruangan itu. Suster-suster cantik berbaju putih berganti kostum memakai baju terusan berwarna hijau dengan tali-tali yang menjulur di bagian punggung. Wajah cantik dan tangan halus mereka sementara dibungkus dengan penutup untuk sterilisasi. Alat-alat medis yang sebelumnya tergolek tak bernyawa, kini mereka memiliki kehidupan kembali. Seorang dokter kemudian muncul dari balik bilik setelah mempersiapkan alat cukup lama. Kini, lampu operasi dinyalakan. Byaar!
    “Dokter, pasien tiba-tiba mengalami serangan sedakan dan tidak berselang lama napas pasien tersengal-sengal tidak teratur, kemudian pasien mendadak jatuh dan tidak sadarkan diri hingga sekarang!” kata salah seorang suster memberikan keterangan kepada dokter untuk didiagnosis.
    “Cek tekanan darah dan denyut jantung!” sahut dokter seraya memegangi tubuh pasien.
    “Baik dok!” Seorang suster yang lain nampak ikut membantu pengecekan dengan memasangkan panel-panel kabel ke tubuh pasien.
 Dokter dingin itu mencermati hasil pemeriksaan dengan sangat teliti. Ia menyerngitkan dahinya sebentar kemudian berkata, “C-syndrome!” Seluruh suster yang berada di ruangan itu langsung terhenyak.
     Empat tahun sudah, negara terserang wabah C-syndrome. Para ahli medis dan ilmuwan sudah bekerja keras demi menemukan obat untuk syndrome ini. Gejalanya datang begitu saja dan sangat sulit diidentifikasi secara dini. Tingkat bahaya C-Syndrome bagi penderita dikategorikan dalam empat stadium, yaitu stadium 1, stadium 2, stadium 3, dan stadium 4 yang sudah sangat mematikan bagi penderita. Dewasa ini, salah seorang ahli syaraf telah menemukan fakta baru yang mencengangkan mengenai C-syndrome. Ia mengemukakan bahwa syndrome ini sebenarnya berasal dari kesalahan neuron dalam otak untuk berpikir jernih sehingga memicu rangsangan untuk berperilaku menyimpang dan selalu merasa tidak pernah puas. C-syndrome cenderung berpotensi menyerang orang-orang yang mengalami gangguan jiwa atau biasa disebut sebagai penyaki ‘gila’. Ya, kegilaan itu dapat berupa kegilaan terhadap harta, tahta, ataupun  pasangan pada umumnya.
Pada beberapa kasus ditemukan bahwa penderita akan mendapatkan serangan yang paling berbahaya untuk stadium 4. Serangan ini timbul saat penderita mengalami peningkatan produksi hormon adrenalin yang disebabkan oleh adanya tekanan emosi terhadap hadirnya bentuk penolakan lingkungan akan perilaku menyimpang yang telah dilakukan oleh penderita. Salah satu tokoh negara yang sempat menghebohkan pemberitaan dengan C-syndrome adalah Priyo Budiman, salah satu petinggi di instansi pembela keamanan dan ketertiban negara. Ia mendapatkan serangan sedakan yang langsung merampas ritme pernapasannya sesaat setelah menerima surat perintah penahanan akibat dari kasus korupsinya dalam pengadaan alat akumulator untuk kegiatan penghitungan jumlah kendaraan bermotor di jalan raya setiap hari. Kasus inilah yang membuat publik sering mengaitkan makna C-syndrome sebagai Corruption Syndrome.
     “Dokter..,” Seorang suster terlihat sedang membisikkan sesuatu kepada sang Dokter.
Dokter kemudian melihat wajah pasien dengan seksama lagi. Dirinya baru sadar wajah pasien yang ia lihat merupakan wajah dari seorang pejabat tinggi negara dan seorang  pemimpin partai yang ikut terlibat dalam kasus korupsi impor pangan senilai 2M akhir-akhir ini.
      “Siapkan eksekusi!” Dokter dingin itu menyeringai dan tersenyum agak gembira.
      “Dok, kita belum mendapat persetujuan keluarga pasien!” Salah suster yang sedari tadi berdiri gemetar berusaha mencegah tindakan yang akan diambil dokter.
Dokter itu menatap tajam suster di sampingnya. “Di sini siapa dokternya? Aku..., atau kau!”
Keempat suster itu segera mengambil posisi masing-masing. Kedua orang suster berusaha mempersiapkan alat bedah, satu orang lainnya memeriksa detak jantung dan infus pasien, dan seorang lagi sibuk mengelapi keringat dokter yang terus menetes keluar.
       “Piip...piip...piiip.” Hening, hanya terdengar suara detak jantung dari kardiograf.
       “Kress..kreess...kresss!” Gunting tanpa ampun membelah tubuh pasien, tepat di bagian perut.
Perut buncit pejabat itu pun terbelah. Sungguh menjijikkan, isi perut dipenuhi oleh nanah yang membusuk. “Makanan haram apa yang kau makan ini? Menjijikkan, busuk!” ucap dokter sambil terus memperlebar belahan perut pasien.
Dokter kemudian memasukkan tangannya ke dalam lubang besar yang berhasil ia buat. Ia nampak sedang berusaha mencari celah di antara organ-organ perut yang sudah mulai membusuk, menemukan sebuah celah kosong yang cukup luas. Tangannya beberapa kali sempat berhenti beberapa untuk mencabut gumpalan-gumpalan daging dan organ pasien yang masih utuh. Lantai ruang terbanjiri oleh darah yang tidak mau berhenti mengucur dari dalam perut pasien. Salah seorang suster yang bertugas memeriksa denyut jantung dan infus semakin sibuk mengganti kantong-kantong darah untuk pasien. “Dok, ini kantong darah yang terakhir. Kita sudah kehabisan stock!” kata suster gelisah.
     “Haahahaha! Bagus, bagus, kerja bagus!” Dokter itu tertawa terbahak-bahak, ia terlihat sangat gembira mendengar ucapan suster tadi.
     “Dok, detak jantung pasien juga semakin melemah. Tekanan darah turun drastis. Bagaimana ini Dok?” Suster lain yang memantau alat kardiograf turut gelisah.
     “Plook...ploook...ploook!” Sang Dokter bertepuk tangan.
Hening. Semua mata saling beradu. Suara bip semakin melemah, melemah, dan akhirnya....”Tiiiiit” bunyi sirine panjang memecahkan kesunyian.
     “Hahahahaha...hahaha...hahaha!” Semua orang di dalam ruangan kini kompak tertawa bersama, mereka tampak menikmatinya.
      Seorang suster yang sedari tadi mengelapi keringat sang Dokter kemudian memeras seluruh keringat yang terkumpul ke dalam perut kosong bernanah. Rona wajah suster itu nampak bertambah riang. Ia kemudian mengambil suatu benda yang tergeletak di bawah ranjang. Kotak kecil penuh kabel terjulur dengan tiga warna; merah, kuning, dan biru. Benda itu lalu ia serahkan kepada dokter dingin di sampingya. Sang Dokter segera meletakkan benda itu ke dalam isi perut pasien, kemudian ia mengambil sebuah jarum berserat dari dalam baskom. Ia menjahit perut pasien dengan sangat cepat, sampai-sampai ia melupakan untuk mengembalikan bentuk perut itu kembali buncit seperti semula.
      “Dok, ini pemicunya.” Sebuah kotak yang berukuran lebih kecil dengan sebuah tombol berpindah tangan ke tangan penuh lumuran darah.
      “Ayo kita segera pergi!” seru sang Dokter kepada keempat suster asistennya.
Dokter membuka pintu ruang operasi, tangannya yang berlumuran darah mengagetkan seluruh pengunjung rumah sakit. Beberapa satpam sempat menghentikan dirinya dan keempat suster itu, namun ia membanting mereka dengan mudah. Kericuhan semakin riuh terdengar. Anak-anak yang datang untuk berobat menjerit ketakutan, sedangkan para lansia tak sadar membuang urinnya di depan umum.
      “Piip...piiip....piip!” Suara detak jantung terdengar kembali dari alat kardiograf yang masih terpasang pada diri pasien yang sudah tak berdaya.
      Pasien itu membuka mata perlahan dengan sisa tenaga yang ia miliki. Napasnya masih tersengal. Ia melihat dirinya sudah telanjang dengan kabel-kabel tersulur ke alat-alat yang asing baginya. Lumuran darah mewarnai hampir seluruh helai selimut yang menjadi satu-satunya penutup bagi auratnya kini. Sepertinya baru saja ia pingsan di rumah setelah membaca surat penangkapan dirinya oleh KKP, lalu tiba-tiba ia merasakan sakit yang begitu dashyat, dan “bruuk!”. Ia mengamati perutnya, oh sungguh mengerikan. Sontak ia berusaha bangun dari tempat tidurnya dan tanpa sengaja menjatuhkan sebuah baskom di sampingnya. Ia melihat sesuatu jatuh dari dalam baskom, ternyata itu adalah organ ginjal dan separuh hatinya jatuh.
       Pasien itu berteriak kesakitan. “Aaw! Dokter tolong!” Ia lemah tak berdaya. Ekspresi wajahnya seketika berubah saat melihat angka-angka berganti seiring detikan jarum jam. Ia segera melepaskan benda itu, namun jahitan perutnya malah ikut terlepas juga. Darahnya kembali mengucur deras membanjiri sprei dimana ia berbaring. Ia coba mencari pertolongan, namun ia terguling ke bawah. Ia merayap keluar sambil menyumbat darah yang terus keluar dari perutnya.
       “Toloong!” Ia berteriak di tengah kegaduhan di luar kamar operasi.
       “Tik...tik...tik...tik,tik,titk,tik,tik,tiktitik...!” Suara hitungan angka semakin cepat.
       “DDHWWEEEER!” Ledakan yang sangat keras.
       “Pleeek!” Potongan tubuh berceceran dimana-mana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar