Rabu, 22 Januari 2014

Cerita Pendek Indonesia 2


 
PELARIAN KETUPAT DI HARI LEBARAN



“ Door..doorr...pletaak..pletaak!” Suara petasan terdengar bergemuruh di seluruh penjuru kota.
            Warna langit malam itu terlihat sama persis seperti keadaan kota tahun lalu, lampu-lampu kota yang gemerlap tertunduk malu terkalahkan oleh keramaian kembang api dan roket-roket api yang terkembang di langit dengan mempesona. Gemebyar bunga-bunga api asyik berjoget dengan irama tabuhan bedug yang beralunan suara takbir, sementara itu obor-obor sengaja begadang untuk menerangi jalan-jalan yang kesepian. Anak-anak tertawa gembira bermain mercon cabai dan sesekali iseng melemparkannya kepada rumah tetangga mereka yang galak. Malam itu sungguh malam yang indah dengan seribu gemerlap keceriaan di setiap wajah orang-orang. Jangkrik pun tak menderik, ia memilih berjamaah mendengar alunan musik terindah hadiah dari Allah. Kumbang yang biasa mendengkur di sela-sela pohon juga ikut-ikutan libur, ia tak mau ketinggalan menunjukkan rasa syukur atas madu dari bunga-bunga di taman rumah sebelah.
            “ Hiks...hiks..!” Terdengar suara tangisan menderu dari sebuah dapur di rumah elit metropolitan.
            Sungguh aneh sekali mengapa di tengah kesukacitaan yang begitu membuncah di dada setiap orang masih ada suara tangisan terdengar. Apakah suara itu tanda kebahagian atau rasa syukur kepada sang Pencipta? Ah.., tetapi mengapa tiada suara takbir yang bergemuruh di hatinya? Apakah yang sedang ia risaukan saat ini? Siapakah dia yang masih saja menangis?
            Suara tangisan terdengar semakin menderu, siapa pun berani bertaruh orang-orang akan merasa pilu kelu mendengar sesenggukan itu. Untung saja, malam ini penuh alunan takbir dan gemebyar kembang apai di seantero kota sehingga suara tangisannya itu tak akan sampai di telinga orang-orang. Suara tangisan itu semakin sendu, sesosok buntalan perlahan bangun dari bawah celemek dapur. Aromanya saat ia bergerak menggoda perut-perut jangkrik di depan rumah, namun sayang jangkrik itu baru saja khusyuk menikmati alunan takbir. Sosok buntalan itu hampir membuka separuh celemek yang menutupi dirinya. Hijau dan bertekstur teratur nampaknya. Bentuk tubuhnya gempal berisi dan kotak, kemudian dari atas kepalanya terjuntai daun yang terurai sampai ke meja. Kini ia benar-benar telah bangun dari tempat ia bersembunyi sedari tadi. Celemek merah jambu kesukaan anak pemilik rumah sudah basah sejak sepuluh menit yang lalu saat ia merasa lelah menampung semua air mata dari ketupat lebaran yang terus-terusan merembes ke dalam pori-pori tubuhnya. Sebenarnya sudah dari satu jam yang lalu ia ingin pergi dari atas piring tempat ketupat itu bersandar, namun ia merasa kasihan dan tega meninggalkannya menangis sendirian. Ia akhirnya merelakan tubuhnya basah oleh tumpahan linangan air mata ketupat malang.
            “ Hei ketupat, kenapa dari tadi kau menangis saja? Apakah kau tidak takut dimarahi  seisi rumah karena membuyarkan kekhusyukan mereka malam ini?” Sapa salah satu sendok yang tergeletak di atas sebuah piring keramik putih.
            “ Apakah hingga saat ini mereka masih khusyuk?” Tanya ketupat lebaran kepada sendok.
            “ Ya, masih. Garpu di sebelahku masih terdiam memandang langit-langit rumah.” Jawab sendok.
            Tangisan ketupat lebaran pun semakin meledak tak tertahankan, sesisi rumah sempat menoleh lalu kembali khusyuk dalam lantunan takbir. Sendok pun mendadak heran dengan ledakan tangisan ketupat. Ia mengatur kata-katanya kembali untuk menenangkan ketupat.
            “ Hei tampan, kenapa kau menangis semakin keras? Apa aku salah berbicara, kalau begitu tolong maafkan aku.” Sendok mencoba merayu ketupat dari lantunan tangisan yang begitu memilukan.
            “Huaa....huaaa...!” Tangisan ketupat semakin dan semakin mengeras.
            “ Hei, tolong diamlah!” Sahut sendok galak.
            Akhirnya ketupat pun menghentikan deruan tangisannya yang begitu memilukan. Ia menyeka air mata yang masih menempel di penutup tubuhnya agar ia tetap kering hingga esok pagi.
            “ Hiks..hiks.., maafkan aku sendok, tapi ini begitu memilukanku.” Suara katupat sesenggukan sabil sesekali mengeluarkan ingusnya dari balik anyaman daun janur yang menempel di tubuhnya.
            “ Hei Bung, coba ceritakanlah kepadaku. Aku mungkin bisa membantumu!” Sendok berkata sambil menepuk punggung ketupat.
            Ketupat pun menceritakan kerisauannya kepada sendok perak di sebelahnya. Ia mengungkapkan banyak hal mengenai kehampaan yang ia rasakan selama tiga tahun lebaran terakhir. Ketupat merasa dirinya sudah tak berharga lagi sebagai makanan, ia tak lagi sama seperti citra teman-temannya di luaran sana yang tetap bergembira menjadi makanan primadona pengisi meja makan keluarga. Sudah tiga tahun belakangan ini istri pemilik rumah melakukan diet karbohidrat untuk melangsingkan tubuhnya yang memang sudah langsing. Suami dari pemilik rumah pun saat lebaran jarang pulang ke rumah saat lebaran, sekalinya pulang ke rumah maka ia langsung mengajak istri dan anaknya pergi berlibur ke luar kota selama beberapa hari. Ketupat yang sedari sore sebelum gema takbir dikumandangkan  telah bersemangat, pada akhirnya ia akan dibuang atau diberikan kepada Bang Saprono satpam komplek yang tidak pulang mudik ke Jawa. Memikirkan apa yang ia alami selama beberapa tahun lebaran itu, maka ketupat menjadi sedih dan risau. Sendok pun kemudian mengatur kata-katanya sekali lagi untuk menanyakan apa yang perlu ia bantu untuk menghilangkan kesedihan dan kerisauan si Ketupat.
            “ Lalu Bung, apakah ada yang ingin kau lakukan di malam ini agar kau tidak bersedih lagi?” Tanya sendo untuk kesekian kali.
            “ Apakah kau mau membantuku sendok? ” Ketupat menoleh dan menatap sendok dengan wajah memelas.
            “ Hmm.., ya boleh saja Bung. Asalkan kau tidak menyuruhku untuk berendam dalam rendaman cucian di bak kotor. Sungguh itu akan membuat lapisan perakku berkarat dan mengelupas. ” Seru sendok sambil mengerlingkan matanya ke arah ketupat.
            “ Tidak sendok, aku tidak akan memintamu untuk melakukan itu.” Ketupat menyilangkan kedua suluran daun di atas kepalanya untuk meyakinkan sendok.
            Ketupat lalu meminta sendok untuk meminta tolong kepada tisu makan yang ada di meja sebelah supaya bersedia meminjamkan tisunya sebentar kepada ketupat, setelah itu ia meminta sendok untuk melompat ke dekat jendela dan mengikatkan salah asatu ujung tisu makan tadi ke badan sendok. Ketupat itu pun mengikatkan kedua suluran daun di atas kepalanya pada juntaian tisu yang mengarah ke sendok. Ia dengan sergap meluncurkan tubuhnya ke arah jendela. Sisa tisu yang menempel di tubuh sendok ia pergunakan sebagai tali untuk menuruni jendela, namun sebelum turun dari jendela ketupat menyampaikan rasa terima kasihnya kepada sendok dan tisu yang telah berbaik hati menolongnya. Ia juga meminta sepotong tisu untuk dibawa bersamanya guna berjaga-jaga barang kali setelah keluar dari rumah itu ia akan membutuhkan tisu untuk mengelap air mata bahagianya.
            “ Jadi ini Bung keinginanmu itu? Lari dari rumah?” Tanya sendok terkejut.
            “ Iya, aku ingin kabur dan mencari rumah lain yang mau menyentuhku.” Jawab ketupat.
            “ Sukses Bung!” Teriak tisu dari tempat ia digulung.
            Ketupat pun berbisik pelan kepada sendok dan bertanya, “ Hei, baru kali ini aku dengar ia berbicara. Aku kira dia...” Kata ketupat.
            “ Bisu maksudmu? Ah tidaklah, dia hanya tidak mau terlalu banyak bicara saja seperti suami pemilik rumah saat pemilu kemarin.” Jawab sendok lirih sambil berbisik kembali kepada ketupat.
            Ketupat pun melambaikan suluran daun di atas kepalanya kepada sendok, tisu makan, dan semua perabot serta makanan di seisi rumah. Impian ketupat nampak sudah begitu dekat, impian dimana akan ada orang yang membelahnya dengan pisau dan memakannya dengan sayur opor serta sambal goreng ati yang pedas. Ia sangat gembira, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa ia telah turun di tempat yang salah. Ia turun tepat di atas kawanan semut yang telah baris berbaris seolah terlihat seperti para tentara yang sedang melatih fisik mereka. Jatuhlah ketupat di kerumunan semut, maka dengan sekejap tubuhnya yang gempal berisi nasi menjadi pusat perhatian koloni itu. Komandan semut langsung memerintahkan semut-semut pekerja untuk mengangkat badan gempal itu menuju sarang mereka, sementara semut-semut penjaga melindungi barisan semut pekerja dari serangga lain. Sendok yang mengamati dari pinggir jendela tersenyum bahagia, ia mengira bahwa Bung temannya tadi telah menemukan sesuatu yang bersedia untuk menyentuh dan memakan dirinya. Ketupat pun berpikiran sama dengan si Sendok, sebelum akhirnya ia tahu bahwa semut mencerna makanannya dengan pencapit-pencapit yang menyakitkan.
            Tubuh ketupat yang gempal dan kotak menyulitkan dirinya untuk bangun dari pikulan semut-semut pekerja. Ketupat pun tak berdaya dibawa semut-semut itu menuju sarangnya. Sesampainya di sarang, semut-semut pun langsung mengambil peralatan bedah mereka untuk mengeluarkan isi ketupat yang nampak lezat bagi mereka.
            “ Hai ketupat lebaran, sebentar lagi kau akan jadi santapan kami. Hahahaha...!” Seru Ratu semut.
            Mengetahui bahwa dirinya akan dibedah maka si Ketupat mendadak berubah menjadi takut. Capitan dan jarum suntik rasanya sangat menyakitkan bagi Ketupat, walaupun sebenarnya sudah lama ia ingin habis dimakan oleh seseorang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar