PELARIAN KETUPAT
DI HARI LEBARAN
“ Door..doorr...pletaak..pletaak!” Suara
petasan terdengar bergemuruh di seluruh penjuru kota.
Warna
langit malam itu terlihat sama persis seperti keadaan kota tahun lalu,
lampu-lampu kota yang gemerlap tertunduk malu terkalahkan oleh keramaian
kembang api dan roket-roket api yang terkembang di langit dengan mempesona.
Gemebyar bunga-bunga api asyik berjoget dengan irama tabuhan bedug yang
beralunan suara takbir, sementara itu obor-obor sengaja begadang untuk menerangi
jalan-jalan yang kesepian. Anak-anak tertawa gembira bermain mercon cabai dan
sesekali iseng melemparkannya kepada rumah tetangga mereka yang galak. Malam
itu sungguh malam yang indah dengan seribu gemerlap keceriaan di setiap wajah
orang-orang. Jangkrik pun tak menderik, ia memilih berjamaah mendengar alunan
musik terindah hadiah dari Allah. Kumbang yang biasa mendengkur di sela-sela
pohon juga ikut-ikutan libur, ia tak mau ketinggalan menunjukkan rasa syukur
atas madu dari bunga-bunga di taman rumah sebelah.
“
Hiks...hiks..!” Terdengar suara tangisan menderu dari sebuah dapur di rumah
elit metropolitan.
Sungguh
aneh sekali mengapa di tengah kesukacitaan yang begitu membuncah di dada setiap
orang masih ada suara tangisan terdengar. Apakah suara itu tanda kebahagian
atau rasa syukur kepada sang Pencipta? Ah.., tetapi mengapa tiada suara takbir
yang bergemuruh di hatinya? Apakah yang sedang ia risaukan saat ini? Siapakah
dia yang masih saja menangis?
Suara
tangisan terdengar semakin menderu, siapa pun berani bertaruh orang-orang akan
merasa pilu kelu mendengar sesenggukan itu. Untung saja, malam ini penuh alunan
takbir dan gemebyar kembang apai di seantero kota sehingga suara tangisannya
itu tak akan sampai di telinga orang-orang. Suara tangisan itu semakin sendu,
sesosok buntalan perlahan bangun dari bawah celemek dapur. Aromanya saat ia
bergerak menggoda perut-perut jangkrik di depan rumah, namun sayang jangkrik
itu baru saja khusyuk menikmati alunan takbir. Sosok buntalan itu hampir
membuka separuh celemek yang menutupi dirinya. Hijau dan bertekstur teratur nampaknya.
Bentuk tubuhnya gempal berisi dan kotak, kemudian dari atas kepalanya terjuntai
daun yang terurai sampai ke meja. Kini ia benar-benar telah bangun dari tempat
ia bersembunyi sedari tadi. Celemek merah jambu kesukaan anak pemilik rumah
sudah basah sejak sepuluh menit yang lalu saat ia merasa lelah menampung semua
air mata dari ketupat lebaran yang terus-terusan merembes ke dalam pori-pori
tubuhnya. Sebenarnya sudah dari satu jam yang lalu ia ingin pergi dari atas
piring tempat ketupat itu bersandar, namun ia merasa kasihan dan tega
meninggalkannya menangis sendirian. Ia akhirnya merelakan tubuhnya basah oleh
tumpahan linangan air mata ketupat malang.
“
Hei ketupat, kenapa dari tadi kau menangis saja? Apakah kau tidak takut
dimarahi seisi rumah karena membuyarkan kekhusyukan
mereka malam ini?” Sapa salah satu sendok yang tergeletak di atas sebuah piring
keramik putih.
“
Apakah hingga saat ini mereka masih khusyuk?” Tanya ketupat lebaran kepada sendok.
“
Ya, masih. Garpu di sebelahku masih terdiam memandang langit-langit rumah.”
Jawab sendok.
Tangisan
ketupat lebaran pun semakin meledak tak tertahankan, sesisi rumah sempat
menoleh lalu kembali khusyuk dalam lantunan takbir. Sendok pun mendadak heran
dengan ledakan tangisan ketupat. Ia mengatur kata-katanya kembali untuk
menenangkan ketupat.
“
Hei tampan, kenapa kau menangis semakin keras? Apa aku salah berbicara, kalau
begitu tolong maafkan aku.” Sendok mencoba merayu ketupat dari lantunan tangisan
yang begitu memilukan.
“Huaa....huaaa...!”
Tangisan ketupat semakin dan semakin mengeras.
“
Hei, tolong diamlah!” Sahut sendok galak.
Akhirnya
ketupat pun menghentikan deruan tangisannya yang begitu memilukan. Ia menyeka
air mata yang masih menempel di penutup tubuhnya agar ia tetap kering hingga
esok pagi.
“
Hiks..hiks.., maafkan aku sendok, tapi ini begitu memilukanku.” Suara katupat
sesenggukan sabil sesekali mengeluarkan ingusnya dari balik anyaman daun janur
yang menempel di tubuhnya.
“
Hei Bung, coba ceritakanlah kepadaku. Aku mungkin bisa membantumu!” Sendok
berkata sambil menepuk punggung ketupat.
Ketupat
pun menceritakan kerisauannya kepada sendok perak di sebelahnya. Ia
mengungkapkan banyak hal mengenai kehampaan yang ia rasakan selama tiga tahun
lebaran terakhir. Ketupat merasa dirinya sudah tak berharga lagi sebagai
makanan, ia tak lagi sama seperti citra teman-temannya di luaran sana yang
tetap bergembira menjadi makanan primadona pengisi meja makan keluarga. Sudah
tiga tahun belakangan ini istri pemilik rumah melakukan diet karbohidrat untuk
melangsingkan tubuhnya yang memang sudah langsing. Suami dari pemilik rumah pun
saat lebaran jarang pulang ke rumah saat lebaran, sekalinya pulang ke rumah
maka ia langsung mengajak istri dan anaknya pergi berlibur ke luar kota selama
beberapa hari. Ketupat yang sedari sore sebelum gema takbir dikumandangkan telah bersemangat, pada akhirnya ia akan
dibuang atau diberikan kepada Bang Saprono satpam komplek yang tidak pulang
mudik ke Jawa. Memikirkan apa yang ia alami selama beberapa tahun lebaran itu,
maka ketupat menjadi sedih dan risau. Sendok pun kemudian mengatur kata-katanya
sekali lagi untuk menanyakan apa yang perlu ia bantu untuk menghilangkan
kesedihan dan kerisauan si Ketupat.
“
Lalu Bung, apakah ada yang ingin kau lakukan di malam ini agar kau tidak
bersedih lagi?” Tanya sendo untuk kesekian kali.
“
Apakah kau mau membantuku sendok? ” Ketupat menoleh dan menatap sendok dengan
wajah memelas.
“
Hmm.., ya boleh saja Bung. Asalkan kau tidak menyuruhku untuk berendam dalam
rendaman cucian di bak kotor. Sungguh itu akan membuat lapisan perakku berkarat
dan mengelupas. ” Seru sendok sambil mengerlingkan matanya ke arah ketupat.
“
Tidak sendok, aku tidak akan memintamu untuk melakukan itu.” Ketupat
menyilangkan kedua suluran daun di atas kepalanya untuk meyakinkan sendok.
Ketupat
lalu meminta sendok untuk meminta tolong kepada tisu makan yang ada di meja
sebelah supaya bersedia meminjamkan tisunya sebentar kepada ketupat, setelah
itu ia meminta sendok untuk melompat ke dekat jendela dan mengikatkan salah
asatu ujung tisu makan tadi ke badan sendok. Ketupat itu pun mengikatkan kedua suluran
daun di atas kepalanya pada juntaian tisu yang mengarah ke sendok. Ia dengan
sergap meluncurkan tubuhnya ke arah jendela. Sisa tisu yang menempel di tubuh
sendok ia pergunakan sebagai tali untuk menuruni jendela, namun sebelum turun
dari jendela ketupat menyampaikan rasa terima kasihnya kepada sendok dan tisu
yang telah berbaik hati menolongnya. Ia juga meminta sepotong tisu untuk dibawa
bersamanya guna berjaga-jaga barang kali setelah keluar dari rumah itu ia akan
membutuhkan tisu untuk mengelap air mata bahagianya.
“
Jadi ini Bung keinginanmu itu? Lari dari rumah?” Tanya sendok terkejut.
“
Iya, aku ingin kabur dan mencari rumah lain yang mau menyentuhku.” Jawab
ketupat.
“
Sukses Bung!” Teriak tisu dari tempat ia digulung.
Ketupat
pun berbisik pelan kepada sendok dan bertanya, “ Hei, baru kali ini aku dengar
ia berbicara. Aku kira dia...” Kata ketupat.
“
Bisu maksudmu? Ah tidaklah, dia hanya tidak mau terlalu banyak bicara saja
seperti suami pemilik rumah saat pemilu kemarin.” Jawab sendok lirih sambil
berbisik kembali kepada ketupat.
Ketupat
pun melambaikan suluran daun di atas kepalanya kepada sendok, tisu makan, dan
semua perabot serta makanan di seisi rumah. Impian ketupat nampak sudah begitu
dekat, impian dimana akan ada orang yang membelahnya dengan pisau dan
memakannya dengan sayur opor serta sambal goreng ati yang pedas. Ia sangat
gembira, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa ia telah turun di tempat yang
salah. Ia turun tepat di atas kawanan semut yang telah baris berbaris seolah
terlihat seperti para tentara yang sedang melatih fisik mereka. Jatuhlah
ketupat di kerumunan semut, maka dengan sekejap tubuhnya yang gempal berisi
nasi menjadi pusat perhatian koloni itu. Komandan semut langsung memerintahkan
semut-semut pekerja untuk mengangkat badan gempal itu menuju sarang mereka,
sementara semut-semut penjaga melindungi barisan semut pekerja dari serangga
lain. Sendok yang mengamati dari pinggir jendela tersenyum bahagia, ia mengira
bahwa Bung temannya tadi telah menemukan sesuatu yang bersedia untuk menyentuh
dan memakan dirinya. Ketupat pun berpikiran sama dengan si Sendok, sebelum
akhirnya ia tahu bahwa semut mencerna makanannya dengan pencapit-pencapit yang
menyakitkan.
Tubuh
ketupat yang gempal dan kotak menyulitkan dirinya untuk bangun dari pikulan
semut-semut pekerja. Ketupat pun tak berdaya dibawa semut-semut itu menuju
sarangnya. Sesampainya di sarang, semut-semut pun langsung mengambil peralatan
bedah mereka untuk mengeluarkan isi ketupat yang nampak lezat bagi mereka.
“
Hai ketupat lebaran, sebentar lagi kau akan jadi santapan kami. Hahahaha...!”
Seru Ratu semut.
Mengetahui
bahwa dirinya akan dibedah maka si Ketupat mendadak berubah menjadi takut. Capitan
dan jarum suntik rasanya sangat menyakitkan bagi Ketupat, walaupun sebenarnya
sudah lama ia ingin habis dimakan oleh seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar